Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu
Advertisement
Advertisement

Indonesia

Alasan mengapa fenomena politisi 'kutu loncat' marak di Indonesia

Konflik internal, perpecahan, dan mekanisme yang tidak jelas dalam menominasikan calon legislatif dan eksekutif adalah beberapa alasan mengapa para politisi pindah-pindah partai politik demi bisa ikut pemilu.

Alasan mengapa fenomena politisi 'kutu loncat' marak di Indonesia
Pengendara mobil melintasi deretan spanduk politik yang mempromosikan para calon presiden dan anggota legislatif di pinggiran kota Depok. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

JAKARTA: Dari kota-kota metropolitan yang super-sibuk hingga ke wilayah perdesaan yang hening, hampir setiap sudut di Indonesia dipenuhi oleh papan iklan, spanduk dan poster wajah-wajah calon presiden dan anggota parlemen. Jumlahnya semakin banyak seiring pemilihan umum 14 Februari yang kian dekat. 

Banyak kandidat yang ditampilkan adalah politisi kawakan, yang sudah beberapa kali menjabat sebagai anggota DPR, di antaranya Eva Kusuma Sundari, mantan pemimpin daerah Dedi Mulyadi atau anak-anak dari politisi terkenal salah satunya Siti Hediati Haryadi, putri dari presiden Indonesia kedua Suharto yang memimpin negeri dengan tangan besi selama tiga dekade.

Namun banyak masyarakat Indonesia yang merasakan kejanggalan dari materi kampanye ketiga politisi di atas.

Misalnya Eva, 58, yang hampir dua dekade menjadi anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) namun untuk pemilu tahun depan dia menjadi caleg Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Dedi, 52, sudah menjadi anggota Partai Golkar selama 24 tahun sebelum memutuskan pindah ke Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) tahun ini.

Sementara Siti, 64, yang akrab disapa Titiek Suharto, punya perjalanan politik yang lebih berliku. Awalnya dia anggota Golkar, sebuah partai yang didirikan ayahnya, lalu bergabung dengan partai Berkarya yang dibentuk pada 2018 oleh adiknya Hutomo Mandala Putra, atau dikenal dengan nama Tommy Suharto.

Tahun ini, Titiek pindah partai lagi dengan menjadi caleg untuk Gerinda, partai yang didirikan oleh mantan suaminya: Menteri pertahanan yang saat ini kembali menjadi calon presiden untuk ketiga kalinya, Prabowo Subianto.

Pindah-pindah partai adalah hal yang lazim di negara demokrasi terbesar ketiga dunia ini. Bahkan ada istilah di Indonesia untuk para politisi yang melakukannya: "Kutu loncat", menggambarkan mereka seperti kutu yang setelah puas menyedot darah inangnya, lalu pindah ke inang lainnya.

Perkara ini kembali jadi pembicaraan setelah Gibran Rakabuming Raka, anggota PDI-P sekaligus putra Presiden Joko Widodo, menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo. Padahal PDI-P mendukung kandidat lain, yaitu mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Pencalonan Gibran memicu spekulasi bahwa dia dan ayahnya, yang juga anggota PDI-P, pada akhirnya juga akan pindah kapal ke partai lain.

Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang juga putra Presiden Indonesia Joko Widodo, di Jakarta pada 25 Oktober 2023. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Negara-negara seperti India dan Malaysia menganggap praktik kutu loncat telah menggoyahkan pemerintahan. Untuk mencegahnya, mereka menerbitkan undang-undang yang secara otomatis akan menggulingkan politisi dari kursi parlemen jika pindah partai.

Undang-undang seperti itu sudah pernah ada di Indonesia pada 2008, tapi Mahkamah Konstitusi menghapuskannya pada 2013 dengan alasan memecat anggota DPR yang pindah partai adalah pelanggaran konstitusi, karena walau mereka dinominasikan partai namun rakyat yang memilihnya.

Sejak saat itu, perkara politisi pindah-pindah partai belum teregulasi di Indonesia, membuat beberapa anggota DPR dapat tetap menjabat walau sudah berganti partai.

Meski para pengamat menentang perilaku kutu loncat, namun mereka mengatakan saat ini bukan waktu yang tepat bagi Indonesia sebagai negara berpopulasi keempat terbesar dunia mengikuti jejak Malaysia atau India.

SALAHKAN PARTAINYA

Tidak ada angka resmi soal berapa banyak politisi yang pindah partai untuk pemilu berikutnya.

Namun Plt. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Mardiono, kepada koran Kompas pada Mei lalu mengatakan bahwa 106 dari 580 caleg yang dinominasikan partainya awalnya anggota partai lain.

"Kita tidak punya caleg dan capres yang mencalonkan diri sebagai independen. Itulah mengapa untuk saat ini, partai politik masih jadi yang terbaik dan terkadang menjadi satu-satunya cara bagi seseorang untuk menduduki posisi politik strategis," kata Titi Anggraini, pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia kepada CNA.

"Jadi ketika seseorang berkonflik dengan partainya atau jika partai tidak lagi bisa memenuhi ambisi atau ekspresi politiknya, langkah paling logis untuk mereka adalah pindah partai."

Seorang pekerja memeriksa rompi yang menampilkan gambar seorang calon anggota legislatif Indonesia di dalam sebuah toko di Jakarta yang menjual pakaian khusus, seragam, dan merchandise untuk partai politik. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Motivasi meninggalkan partai bisa beragam, mulai dari perselisihan internal hingga karena merosotnya popularitas partai. Tapi sebab terbesarnya menurut Siti Zuhro, peneliti politik senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), adalah tidak transparannya kerja partai politik di Indonesia.

"Partai politik seharusnya menjadi jendela untuk melihat bagaimana demokrasi kita berfungsi, tapi mekanisme di dalam partai politik jauh dari kata demokratis," kata dia kepada CNA.

Zuhro mengatakan kurang adanya transparansi dan meritokrasi dalam proses pemilihan dan seleksi kandidat anggota legislatif atau eksekutif oleh partai politik.

"Partai-partai politik seringkali mengabaikan kompetensi kandidat, pengalaman atau bahkan loyalitasnya. Pada akhirnya, semuanya soal popularitas, koneksi dan uang. Itulah mengapa kita melihat banyak selebritis dan juga pasangan, saudara atau anak dari elite parpol yang dipilih sebagai calon anggota legislatif atau eksekutif," kata dia, merujuk pada para kandidat untuk mengisi jabatan eksekutif nasional maupun daerah seperti presiden, gubernur dan walikota.

Sebanyak 18 partai telah memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam pemilihan presiden dan legislatif mendatang, Zuhro mengatakan hanya ada sedikit perbedaan ideologis di antara mereka.

"Indonesia tidak seperti Australia atau Amerika Serikat di mana setiap partai memiliki platform ideologi yang jelas, itulah sebabnya mengapa pindah partai jarang terjadi di kedua negara tersebut," katanya.

Seorang pekerja memeriksa topi yang baru saja dibordir di sebuah toko di Jakarta yang menjual pakaian, seragam, dan merchandise partai-partai politik. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

TIDAK ADA RUANG UNTUK BERSINAR

Masalah lain yang muncul akibat fenomena kutu-loncat adalah pada kaderisasi, pembinaan dan pengembangan anggota partai untuk menjadi pemimpin partai di masa depan.

"Tidak semua anggota partai memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang, semuanya tergantung siapa yang Anda kenal di dalam partai," ujar Khairunnisa Nur Agustyanti, direktur eksekutif organisasi nirlaba Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) kepada CNA.

Sementara itu, para elite partai terus bertahan pada posisi dan kekuasaan mereka tanpa memberi ruang bagi anggota partai yang lebih muda untuk bersinar, kata Kharunnisa.

Bukti nyata dari hal ini, kata dia, adalah adanya beberapa partai di Indonesia yang diketuai oleh orang yang sama selama bertahun-tahun.

Mantan presiden Megawati Soekarnoputri, misalnya, telah memimpin PDI-P sejak partai itu didirikan pada 1998. Begitu pula dengan Prabowo Subianto, yang menjadi ketua umum partai sejak Gerindra berdiri pada 2008.

Sebaliknya, kata para pengamat, ada orang-orang yang dengan cepat naik ke jajaran tinggi partai hanya karena mereka punya hubungan dengan para elite politik di Indonesia.

Pada 2020, PDI-P mendukung Gibran untuk berkompetisi menjadi walikota di kampung halamannya, Surakarta, meski dia minim pengalaman politik atau birokrasi. Padahal Gibran, yang kini berusia 36 tahun, baru bergabung dengan PDI-P setahun sebelumnya.

Sementara itu adiknya, Kaesang Pangarep, 28, langsung ditunjuk sebagai ketua partai kecil, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 25 September lalu, hanya dua hari setelah bergabung.

"Hal ini menunjukkan betapa kecilnya perhatian yang diberikan partai-partai terhadap kader-kadernya sendiri," kata Titi.

Kaesang Pengarep (tengah) saat acara deklarasi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden di Arena Indonesia, Senayan, Jakarta, Indonesia, Kamis (25/10). CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

BANYAK KONFLIK INTERNAL

Pengamat mengatakan, budaya pindah-pindah partai telah ada di Indonesia sejak puluhan tahun, tidak hanya dilakukan oleh anggota berjabatan rendah tapi juga para elite politiknya.

Presiden kelima Indonesia, Megawati Sukarnoputri, sempat menjabat ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang sekarang bubar. Megawati kemudian digulingkan pada 1996 dalam perebutan kekuasaan yang kontroversial oleh para anggota partai pro-Suharto.

Menyusul lengsernya Suharto pada 1998, Megawati mendirikan PDI-P, menambahkan kata "perjuangan" untuk membedakannya dengan PDI.

Perpecahan di dalam partai Golkar milik Suharto juga terjadi beberapa tahun setelah kekuasaannya runtuh. Para mantan elite partai Golkar membentuk tujuh partai politik, di antaranya Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) pada 2006, Gerinda pada 2008, Nasdem pada 2011 dan Berkarya pada 2018.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, konflik internal dalam tubuh Partai Kesejahteraan Rakyat (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) telah menjadi penyebab terbentuknya Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) pada 2019 dan Partai Ummat pada 2021.

Gelora dan Ummat akan mengikuti pemilu pertama mereka tahun depan.

Siti Zuhro dari BRIN mencatat bahwa perpecahan ini dipelopori oleh dua jenis elite partai: para anggota lama yang digulingkan oleh junior mereka atau mereka yang gagal jadi ketua partai. Perpecahan seperti itu, tambahnya, kemungkinan besar menyebabkan eksodus besar-besaran oleh para pendukung faksi-faksi sempalan dalam partai.

"Ini menunjukkan bahwa partai-partai tersebut memiliki mekanisme resolusi konflik internal yang buruk," kata dia.

Seorang pria berjalan melewati kantor pusat Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

PERLUNYA DIREFORMASI

Haruskah Indonesia membuat undang-undang yang menghukum politisi kutu loncat? Titi tidak setuju.

"Selama orang-orang yang kompeten tidak dapat berkembang di partai sendiri, selama partai-partai mengesampingkan hal-hal seperti keterwakilan perempuan dan inklusivitas, maka seseorang harus punya hak untuk beralih ke partai lain yang menurut mereka lebih baik," katanya.

Agustyati dari Perludem menyuarakan hal yang sama.

"Kita tidak bisa membatasi aspirasi politik seseorang," ujarnya, seraya menambahkan bahwa partai-partai seharusnya mereformasi diri mereka sendiri.

Khairunnisa dari Perludem menyuarakan hal yang sama.

"Kita tidak bisa membatasi aspirasi politik seseorang," kata dia, seraya menambahkan bahwa seharusnya partai yang mereformasi diri sendiri.

Idealnya, kata direktur Perludem itu, politisi yang berkontes di pemilu diseleksi dan dinominasikan pada konvensi partai agar latar belakang dan misi mereka diuji oleh panel ahli, lalu divoting oleh para anggota partai.

"Sekarang, tidak ada kejelasan kriteria, panduan dan transparansi soal bagaimana seorang kandidat bisa dinominasikan oleh partai. Semuanya serba sembarangan," kata dia.

Undang-undang tahun 2011 tentang partai politik menyatakan bahwa calon legislatif dan eksekutif harus dinominasikan secara demokratis dan transparan. Namun UU itu tidak memberikan panduan lebih lanjut soal cara partai menjalankan mandat tersebut.

"Undang-undangnya harus direformasi. Tapi sekali lagi, undang-undang dibahas dan disahkan oleh parlemen yang diisi oleh orang-orang partai politik yang ingin mempertahankan apa yang sudah ada," kata Khairunnisa.

Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.

Source: CNA/da(ih)
Advertisement

Also worth reading

Advertisement