Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu
Advertisement
Advertisement

Indonesia

Survei menunjukkan, lebih dari setengah responden Indonesia dan Malaysia ingin pemuka agama ikut berpolitik

Survei Pew Research Centre yang melibatkan sekitar 13.000 responden dari enam negara Asia itu menemukan bahwa satu dari dua warga Malaysia dan Indonesia meyakini para pemuka agama harus terjun ke dunia politik.

Survei menunjukkan, lebih dari setengah responden Indonesia dan Malaysia ingin pemuka agama ikut berpolitik
Foto arsip warga Muslim Malaysia sedang menunggu waktu salat di Masjid Nasional Malaysia, Kuala Lumpur, pada 22 April 2023. (Foto: AP/Vincent Thian)

JOHOR BAHRU: Sekitar 6 dari 10 responden di Malaysia dan Indonesia mengatakan, para pemuka agama seharusnya berbicara secara terbuka tentang partai politik atau politisi yang mereka dukung. Bahkan setengah dari responden mengatakan para pemuka agama harus terjun ke dunia politik, demikian beberapa temuan dalam sebuah survei terbaru.

Selain itu, lebih dari setengah responden di Malaysia dan Indonesia meyakini bahwa pemuka agama harus ambil bagian dalam unjuk rasa politik, lebih banyak 50 persen dibanding survei pada responden di Kamboja dan melampaui Singapura, Sri Lanka dan Thailand sekitar 18 hingga 29 persen.

Temuan ini mengemuka dalam hasil studi yang dirilis Pew Research Centre pada Selasa lalu (12 Sep) yang mensurvei 13.122 responden dewasa di enam negara Asia antara Juni dan September 2022.

Negara peserta survei adalah Thailand, Kamboja, dan Sri Lanka dengan Buddha sebagai agama resminya, Malaysia dan Indonesia yang sebagian besar populasinya adalah Muslim, serta Singapura yang tidak memiliki agama mayoritas.

Survei oleh lembaga riset asal Amerika tersebut juga menyentuh wilayah yang lebih luas, termasuk bagaimana responden memandang pentingnya agama sebagai identitas nasional, kecenderungan terhadap agama sebagai dasar penetapan hukum nasional, dan juga pandangan mengenai keberagaman agama.

Salah satunya, survei menemukan bahwa 86 persen responden Muslim di Indonesia mengatakan "sangat penting" bagi seorang Muslim untuk menjadi orang Indonesia seutuhnya. Temuan ini diikuti oleh responden Muslim Malaysia dengan 79 persen yang juga menganggap agama merupakan identitas nasional.

Salah satu peneliti utama dalam studi itu, Jonathan Evans, kepada CNA mengatakan bahwa beberapa pertanyaan dalam survei bertujuan untuk memahami apakah publik menganggap politik dan agama "seharusnya atau tidak seharusnya dicampuradukkan".

"Karena ada begitu banyak cara bagi pemuka agama untuk terlibat dalam politik, kami memutuskan menanyakan beberapa pertanyaan untuk mendapatkan nuansa dengan derajat yang lebih tinggi dari sekadar 'apakah pemuka agama harus terlibat dalam politik?'," kata Evans.

"Secara keseluruhan Muslim di Indonesia dan Malaysia, jika dibanding Muslim di negara lain, cenderung mengatakan bahwa para pemuka agama seharusnya terlibat dalam politik."

PANDANGAN BAHWA HUKUM NASIONAL HARUS DIDASARKAN PADA AJARAN AGAMA

Survei tersebut memang menyertakan Sri Lanka, tapi CNA fokus pada temuan dari lima negara Asia Tenggara yang secara geografis berdekatan dan dinamika keagamaannya memiliki kesamaan.

Lebih dari setengah responden di lima negara tersebut meyakini bahwa pemuka agama seharusnya ikut memilih dalam pemilu politik.

Sebanyak 91 persen responden Indonesia, 84 persen Malaysia dan 81 persen Kamboja mengatakan pemuka agama harus memberikan suaranya di tempat pemilihan.

Namun, ada perbedaan pandangan terkait tiga aktivitas politik lainnya, seperti pemuka agama berbicara terbuka soal politisi atau partai politik yang mereka dukung, berpartisipasi dalam unjuk rasa politik dan menjadi politisi itu sendiri.

Secara umum responden di Indonesia dan Malaysia adalah yang paling mendukung keterlibatan politik oleh para pemuka agama.

Sekitar dua pertiga responden di Malaysia dan 57 persen di Indonesia mengatakan bahwa seharusnya para pemuka agama mengungkapkan kepada publik siapa politisi atau partai politik yang mereka dukung.

Sebaliknya terkait hal tersebut, angkanya berada antara 29 hingga 47 persen dalam survei terhadap responden Singapura, Sri Lanka, Thailand dan Kamboja.

Lebih lanjut, sebanyak 54 persen responden Malaysia menginginkan para pemuka agama mereka terjun ke politik. Hal yang sama disampaikan 48 responden dari Indonesia dan 45 persen dari Kamboja.

Kurang dari 30 persen responden di Sri Lanka, Thailand dan Singapura mendukung pemuka agama mereka menjadi politisi.

Kendati demikian, survei juga mengemukakan bahwa kebanyakan umat Buddha di Thailand, Kamboja dan Sri Lanka mendukung jika peraturan nasional mereka didasarkan pada Buddha Darma - sebuah konsep yang luas mencakup pengetahuan, doktrin dan praktik keagamaan dari pengajaran Buddha.

Pandangan ini hampir disepakati secara bulat oleh seluruh umat Budha Kamboja dengan angka 96 persen responden yang mendukung jika ajaran dan praktik agama Buddha menjadi dasar hukum nasional. Sementara, ada 56 persen umat Buddha Thailand yang memiliki pandangan serupa.

Pandangan senada disampaikan Muslim di Malaysia dan Indonesia yang mendukung Syariah menjadi hukum resmi di negara mereka, dengan responden dari Malaysia sebanyak 86 persen dan Indonesia 64 persen.

RESPONDEN MUSLIM DAN BUDDHA MENGATAKAN "BUDAYA MEREKA LEBIH UNGGUL"

Responden dari negara mayoritas Buddha di Kamboja dan Thailand, begitu juga mayoritas Muslim di Indonesia dan Malaysia, mengatakan bahwa penting untuk menjadi anggota dari kelompok keagamaan masing-masing demi menunjukkan identitas nasional mereka.

"Mayoritas responden di negara-negara ini setuju pada pendapat bahwa 'budaya mereka lebih unggul dibanding yang lain'," bunyi survei tersebut.

Di Kamboja dan Thailand, lebih dari 75 persen responden beragama Buddha mengatakan bahwa memeluk agama Buddha sangat penting untuk menjadi warga Kamboja atau Thailand seutuhnya.

Kebanyakan orang di kedua negara tersebut adalah penganut Buddha, dan ada kesepakatan secara luas bahwa Buddhisme lebih dari sekadar agama.

Antara 76 persen hingga 96 persen umat Buddha di Kamboja dan Thailand tidak hanya menggambarkan Buddhisme sebagai "sebuah agama yang dipilih seseorang", melainkan juga "bagian dari budaya seseorang" dan "tradisi keluarga yang harus diikuti".

Survei menemukan bahwa dalam beberapa hal, Buddhisme terkait dengan identitas nasional di negara-negara tersebut, sama halnya seperti Islam di Indonesia dan Malaysia.

Sekitar 86 persen Muslim Indonesia mengatakan bahwa memeluk Islam sangat penting untuk bisa menjadi warga Indonesia seutuhnya, diikuti oleh 79 persen Muslim Malaysia yang juga mengatakan beragama Islam penting untuk bisa menjadi Malaysia seutuhnya.

Lebih lanjut, warga Muslim di kedua negara di atas sama-sama menggambarkan Islam sebagai sebuah budaya, tradisi keluarga dan etnis –  bukan hanya "sebuah agama yang dipilih seseorang".

Sebagai contoh, sepertiga responden Muslim Malaysia mengatakan bahwa Islam "adalah sebuah etnis di mana seseorang dilahirkan."

KAMBOJA, THAILAND BERTOLAK BELAKANG SOAL KEBERAGAMAN AGAMA

Banyak responden dari negara-negara yang disurvei – termasuk yang berasal dari kelompok agama mayoritas – menyatakan menerima keberagaman agama.

Misalnya, lebih dari 60 persen responden dari kelompok agama mayoritas di setiap negara mengatakan akan menerima pemeluk agama lain sebagai tetangga mereka.

Sebagian besar responden di regional ini juga menggambarkan agama lain sebagai pembawa kedamaian dan selaras dengan budaya dan nilai-nilai nasional mereka.

Namun, mayoritas responden dewasa dari Thailand dan Kamboja mengambil posisi yang bertolak belakang. Mereka mengatakan bahwa keberagaman agama, etnis dan budaya tidak memiliki dampak positif atau negatif terhadap negara mereka.

Di Malaysia, 62 persen responden mengatakan bahwa keberadaan orang-orang dengan latar belakang berbeda telah membuat negara mereka menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali, dengan hanya 4 persen atau kurang dari itu yang mengatakan keragaman membuat negara mereka lebih buruk.

Di sisi lain, survei mencatat bahwa hanya 19 persen dari responden dewasa Thailand yang mengatakan keberagaman membuat negara mereka lebih baik, sementara 68 persen mengatakan keberagaman tidak membawa banyak perubahan dan 11 persen menyebut hal itu membuat Thailand lebih buruk.

Kebanyakan orang dewasa yang disurvei di kawasan memandang agama lain sangat atau lumayan damai. Sedikit sekali yang mengatakan agama lain sangat tidak atau sama sekali tidak damai.

Sebagai tambahan, sebagian besar responden dari agama-agama mayoritas menyatakan siap menerima para penganut agama lain sebagai tetangga mereka.

Sekitar 72 persen responden Muslim Malaysia dan 68 persen di Indonesia mengatakan bersedia menerima pemeluk agama Buddha sebagai tetangga mereka.

Sementara 77 persen responden Buddha di Kamboja dan 65 persen di Thailand mengaku terbuka untuk hidup berdampingan dengan Muslim.

Evan sebagai peneliti kepada CNA mengatakan ada beberapa responden yang berpandangan intoleran. Dia mengutip ada 36 persen umat Buddha Thailand mengatakan Islam bukan agama damai, sementara 42 persen responden Malaysia yang menyebut Buddha bukan agama damai.

Namun, dia menegaskan bahwa secara umum masyarakat di seluruh enam negara tersebut toleran terhadap agama lain.

"Di semua kelompok agama mayoritas, sebagian besar mereka mengaku bersedia menerima pemeluk agama lain sebagai tetangga," kata dia.

"Dan mayoritas responden di kebanyakan negara sepakat bahwa agama lain selaras dengan nilai-nilai dan budaya negara mereka."

Saat dimintai komentarnya, pengamat politik Malaysia Oh Ei Sun, peneliti senior di Singapore Institute of International Affairs, kepada CNA mengatakan temuan dalam survei menunjukkan bahwa beberapa negara Asia Tenggara harus mewaspadai "peningkatan jumlah orang-orang yang tampak sangat taat beragama".

Secara khusus, dia menyebut mereka sebagai orang-orang yang ingin memaksakan "versi yang sangat fundamentalis – jika bukan ekstremis" dari agama, tidak hanya di seantero negeri tapi juga di seluruh dunia.

"Hal ini pasti akan mengarah kepada perselisihan berbau agama di dalam negeri, di regional dan pada akhirnya di ranah global, terkadang melibatkan kekerasan, yang akan pecah karena kelompok masyarakat lainnya menolak untuk tunduk," kata Dr Oh.

Ditanya mengenai apa yang harus dilakukan negara untuk menghindari hal tersebut, Dr Oh mengatakan bahwa pemerintah yang otoriter bisa mengadopsi "langkah radikal untuk melarang politik agama atau mencegah pemuka agama masuk dalam politik".

Dia menambahkan, langkah-langkah lain seperti mengedukasi masyarakat dan juga menjalin kerja sama antara pemerintah dengan para pemuka agama tidak akan berhasil dan berisiko terjadinya penyusupan oleh unsur-unsur ekstremis ke dalam pemerintahan. Hal ini, kata dia, terjadi pada Badan Intelijen Pakistan yang sebelumnya pernah disusupi kelompok ekstremis Islam, Taliban.

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini tentang beragam ujian dalam menerapkan moderasi beragama di Indonesia.

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/da(ih)
Advertisement

Also worth reading

Advertisement