Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu
Advertisement
Advertisement

Indonesia

Anies Baswedan kritisi kebijakan luar negeri RI yang 'transaksional', janjikan pendekatan berbasis nilai

Mantan gubernur Jakarta ini adalah satu dari tiga bakal calon presiden yang telah menyatakan akan maju dalam pemilu presiden tahun depan.

Anies Baswedan kritisi kebijakan luar negeri RI yang 'transaksional', janjikan pendekatan berbasis nilai
Anies Baswedan adalah gubernur Jakarta dari tahun 2017 hingga 2022. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

JAKARTA: Bakal calon presiden Anies Baswedan menyatakan akan mengadopsi kebijakan luar negeri yang "berbasis nilai" jika memenangi pemilu tahun depan. Anies mengkritik kebijakan luar negeri saat ini di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo sebagai kebijakan yang "transaksional".

Berbicara kepada beberapa koresponden media asing beberapa waktu lalu, mantan gubernur Jakarta ini mengatakan bahwa kebijakan luar negeri berbasis nilai adalah kebijakan yang membuat sikap sebuah negara menjadi jelas dan tegas, jika dibandingkan dengan kebijakan transaksional yang mengedepankan beberapa aspek, seperti misalnya investasi dan perdagangan.

Dengan kebijakan luar negeri berbasis nilai, imbuh Anies, Indonesia akan bisa mengkritisi invasi Rusia ke Ukraina. Dia secara tidak langsung mengatakan Presiden Jokowi saat ini menahan diri untuk melontarkan kritik tersebut.

"Apa itu kebijakan luar negeri yang berbasis nilai? Sebagai contoh, jika sebuah negara menginvasi negara lain, dan penginvasi adalah negara sahabat, apakah kita harus diam? Tidak! Kita harus katakan bahwa mereka salah," kata Anies.

"Karena dalam nilai-nilai pokok yang kita pegang, kedaulatan wilayah adalah prinsip utama. Seharusnya kita bisa mengatakan dengan jelas: Anda dan kami bersahabat, tapi kami tidak setuju dengan apa yang Anda lakukan, karena tindakan Anda bertentangan dengan salah satu nilai pokok kami."

Pernyataan itu disampaikan Anies dalam sebuah diskusi tertutup yang membahas berbagai isu dengan beberapa koresponden media asing yang bertugas di Indonesia. CNA telah mendapat persetujuan Anies untuk mengutip pernyataannya dalam diskusi tersebut, namun hanya soal rencana kebijakan luar negeri. 

Indonesia akan menggelar pemilu pada 14 Februari tahun depan. Walau bakal calon presiden baru bisa mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum pada Oktober nanti, tapi Anies adalah satu dari tiga tokoh yang telah mendeklarasikan diri maju pada pemilihan presiden.

Dua tokoh lainnya adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Anies awalnya didukung oleh partai politik terbesar keempat di Indonesia, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan juga Partai Demokrat serta Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Bersama, mereka membentuk aliansi bernama Koalisi Perubahan untuk Persatuan, dengan memposisikan diri sebagai pihak yang menginginkan perubahan dan dianggap sebagai antitesis dari pemerintahan Joko Widodo. Demokrat dan PKS saat ini adalah satu-satunya partai oposisi di parlemen.

Belakangan, Partai Demokrat memutuskan keluar dari koalisi setelah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bergabung dengan ketuanya, Muhaimin Iskandar, menjadi bakal calon wakil presiden mendampingi Anies. 

Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, tidak bisa maju lagi jadi capres. Konstitusi Indonesia hanya memperbolehkan seseorang menjadi presiden maksimal dua periode, dan masa kepemimpinan Jokowi akan berakhir pada Oktober tahun depan.

KEBIJAKAN NON-BLOK INDONESIA

Kebijakan luar negeri Indonesia adalah non-blok, yang tetap dilanjutkan pada pemerintahan Jokowi sejak 2014 lalu.

Kebijakan ini pertama kali diterapkan pada awal 1960-an di masa Perang Dingin antara AS dan Rusia. Indonesia yang ketika itu khawatir kedaulatannya terancam, memutuskan untuk tetap netral dan tidak berpihak.

Dengan kebijakan tersebut, Indonesia yakin akan tetap bisa menjaga hubungan baik dengan semua negara dan tidak punya musuh.

Itulah sebabnya ketika pecah perang di Ukraina, Indonesia memutuskan untuk tidak berpihak, sebagai cerminan hubungan baik dengan kedua negara sebelum mereka berperang.

Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada Februari tahun lalu, Jokowi men-twit: "Setop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia." Cuitan tersebut tidak merujuk pada negara manapun yang melakukan invasi.

Empat bulan setelahnya di bulan Juni, Jokowi mengunjungi Ukraina dan Rusia untuk memfasilitasi dialog dan perdamaian antara kedua negara. Dia adalah pemimpin Asia pertama yang mengunjungi kedua negara setelah pecah perang, tapi lawatan itu tidak berhasil menghentikan perang.

Lima bulan kemudian pada November dalam KTT G20 ketika Indonesia mendapat giliran menjadi tuan rumah, Jokowi kembali mengatakan: "Setop perang. Saya ulangi, setop perang. Banyak hal yang dipertaruhkan."

Kendati demikian, Jokowi dalam berbagai kesempatan tidak pernah mengkritisi Rusia karena telah menginvasi Ukraina.

Namun Indonesia pada voting Sidang Majelis Umum PBB Oktober tahun lalu mendukung kecaman atas pencaplokan empat wilayah Ukraina oleh Rusia.

Keputusan ini diambil kendati Indonesia menyatakan abstain untuk resolusi PBB pada April tahun lalu.

Ketika itu, Indonesia memutuskan abstain dalam voting untuk mengeluarkan Rusia dari Dewan HAM PBB karena invasi ke Ukraina.

Pemerintah Indonesia beralasan, perubahan sikap ini didasari pada prinsip-prinsip negara yang menghormati integritas wilayah.

Dalam beberapa tahun terakhir, efektivitas sikap non-blok Indonesia telah dipertanyakan di tengah perseteruan antara AS dan China.

Misalnya terkait ketegangan geopolitik di Laut China Selatan, sebuah perairan sengketa dekat Laut Natuna Utara milik Indonesia.

Nelayan-nelayan China telah melanggar batas wilayah perairan Indonesia, tapi pemerintah pusat di Jakarta seringkali memandang enteng situasi tersebut meski para pengamat menyerukan agar negara bertindak tegas.

Anies Baswedan, satu dari tiga calon presiden yang akan maju dalam pemilihan presiden di Indonesia. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)

LEBIH AKTIF

Anies sebelumnya telah berbicara soal kecenderungannya terhadap kebijakan luar negeri berbasis nilai ketika mengunjungi Australia awal tahun ini dan pada wawancara dengan media ABC.

"Indonesia perlu memainkan peranan yang lebih aktif pada kancah internasional, dan kami harus lebih aktif sesuai dengan prinsip-prinsip kami," kata dia dalam wawancara tersebut.

"Jadi, pendekatan kebijakan luar negeri tidak selalu harus transaksional, artinya ini bukan hanya soal seberapa banyak uang yang diberikan negara lain kepada kami."

Kepada ABC, Anis juga mengatakan faktor penting lainnya yang harus dipertimbangkan adalah kontribusi Indonesia pada perdamaian dan stabilitas di kawasan dan di seluruh dunia.

Dalam pernyataan terbarunya kepada para koresponden media asing di Indonesia, Anies mengatakan bahwa Indonesia perlu melanjutkan pendekatan non-blok, tapi harus proaktif dalam kancah internasional.

Dia juga menjelaskan pentingnya kebijakan berbasis nilai, dibandingkan kebijakan transaksional.

"Bayangkan jika suatu hari, kedaulatan kita diserang. Kita akan meminta negara-negara lain untuk membela kedaulatan kita," imbuh Anies. 

"Lalu mereka akan mengatakan Indonesia saja tidak membela kedaulatan mereka saat dibutuhkan, jadi kenapa mereka harus membela kita di saat kita sedang butuh."

INDONESIA VS CHINA DAN AS

Anies juga berbicara soal hubungan China-AS, dengan mengatakan bahwa perseteruan kedua negara tersebut akan membuat negara-negara Asia Tenggara terjebak di tengah-tengah.

Dia menegaskan Indonesia harus terus melanjutkan kerja sama dengan China, AS, dan mitra-mitra lainnya seperti Uni Eropa, Australia dan Singapura.

"China bisa dipastikan akan menjadi besar dan terus berkembang, dan akan terus menjadi pemain besar di ASEAN. Kita harus menghadapi realitas tersebut dan memanfaatkannya dengan baik," kata dia.

Saat ini China adalah mitra dagang terbesar Indonesia. Beberapa proyek pembangunan di Indonesia didukung oleh China, salah satunya jalur kereta cepat Jakarta-Bandung yang merupakan bagian dari Belt and Road Initiative (BRI) pemerintah Beijing.

Juru bicara Anies untuk ekonomi dan hubungan luar negeri Tom Lembong, mantan menteri perdagangan pada periode pertama Presiden Jokowi, menjelaskan bagaimana kebijakan berbasis nilai akan berdampak pada perdagangan dengan dua kekuatan besar AS dan China.

"Dengan kebijakan berbasis nilai, kita seringkali akan setuju dengan China, dan seringkali juga tidak setuju dengan China. Sama halnya, kita seringkali akan setuju dengan Barat, tapi seringkali juga tidak setuju dengan Barat," kata Tom.

"Tapi akan menjadi sangat jelas mengapa kita setuju atau tidak setuju, dan ketika posisi kita didasarkan pada nilai-nilai yang jelas, konsisten dan mencerahkan, maka negara-negara lain akan menghargai posisi tersebut, bahkan jika pun mereka tidak setuju dengan kita."

Dia mengatakan bahwa kebijakan berbasis nilai membutuhkan konsistensi.

TANTANGAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI BERBASIS NILAI

Pengamat mengatakan kepada CNA bahwa menerapkan kebijakan luar negeri berbasis nilai tidak akan mudah.

Aditya Perdana, pengamat politik dari Universitas Indonesia, mengatakan tidak akan mudah untuk menarik kembali langkah-langkah yang telah diambil oleh pemerintahan saat ini. Pasalnya, Indonesia telah memiliki posisi tertentu terkait perdagangan dan kebijakan luar negeri dengan China, AS dan Eropa.

"Bisa dilakukan, tapi tidak mudah. Perlu penyesuaian, dan itu melibatkan diplomasi dan perundingan yang tidak gampang, terutama dengan Rusia, AS, dan yang lainnya," kata dia.

Pengamat juga mengatakan, Anies yang mengkritisi kebijakan luar negeri Jokowi dan menyampaikan rencananya jika terpilih tidak akan berdampak langsung dalam meningkatkan popularitasnya. Saat ini dalam berbagai survei, Anies berada di posisi bontot jika dibandingkan dua bacapres lainnya.

"Pendekatan seperti ini tidak akan berdampak pada elektabilitasnya karena kebijakan luar negeri adalah masalah para elite. Tidak semua orang memahaminya karena topik ini terlalu berat," kata Adi Prayitno, dosen ilmu politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Adi menambahkan, para pemilih di Indonesia lebih tertarik dan peduli terhadap isu-isu keseharian, seperti cara memberantas kemiskinan, mengatasi pengangguran dan menurunkan harga.

Dia juga mengatakan bahwa pemilih Indonesia lebih tertarik pada sosok yang selalu turun ke lapangan bertemu rakyat, berkenan untuk selfie dan bisa dijangkau masyarakat seperti Jokowi.

"Isu-isu seperti perang Rusia dan Ukraina, dan ketegangan internasional seperti yang terjadi di kawasan, bukanlah perhatian utama kebanyakan orang," kata dia.

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris. 

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini yang mengulas analisa pengamat mengenai pidato kenegaraan Presiden Jokowi.

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/da(ih)
Advertisement

Also worth reading

Advertisement