Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu
Advertisement
Advertisement

Indonesia

Ketika ekstremisme dan isu identitas menguji moderasi beragama di Indonesia

Protes masyarakat terkait keikutsertaan Israel pada Piala Dunia U-20 membuat Indonesia kehilangan status tuan rumah pada ajang tersebut. Program Insight, CNA mengulas isu politik identitas dan Islam di Indonesia menjelang pemilu presiden tahun depan.

Ketika ekstremisme dan isu identitas menguji moderasi beragama di Indonesia
Aksi protes terhadap partisipasi Israel pada Piala Dunia U-20 mengindikasikan perpaduan yang kompleks antara politik, agama, dan identitas di Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara.

JAKARTA: Seharusnya para penggemar sepak bola Indonesia dapat menyaksikan calon-calon pemain bintang masa depan berlaga di negara mereka pada Piala Dunia U-20, sebuah turnamen yang digelar pada Mei lalu. 

Tapi harapan mereka pupus setelah induk organisasi sepak bola dunia, FIFA, mencopot status Indonesia sebagai tuan rumah pada Maret silam. Keputusan FIFA diambil menyusul protes dari berbagai kelompok Islam dan penentangan dari dua gubernur terkait keikutsertaan Israel dalam ajang tersebut.

Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada 2019, sementara Israel lolos kualifikasi pada Juni tahun lalu. Secara resmi kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik, dan banyak warga Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina dalam konflik Israel-Palestina.

Akhirnya, Piala Dunia U-20 diadakan di Argentina. Kisruh ini dilaporkan telah merugikan Indonesia triliunan rupiah, ditambah lagi dengan sanksi dari FIFA.

Lebih dari itu, peristiwa tersebut menunjukkan adanya pencampuradukan antara politik, agama dan identitas di negara dengan populasi Muslim terbesar dunia dan digadang sebagai penggawa Islam yang moderat.

Di tengah persiapan Indonesia menggelar pemilihan presiden tahun depan, yang sejauh ini memunculkan tiga nama kandidat, apakah politisasi Islam akan kian gencar dan bagaimana menghadapi paham konservatif yang bermunculan di berbagai daerah. CNA mengulasnya melalui program Insight.

"Saya kira, agama jelas menjadi sesuatu yang digunakan dalam situasi politik di Indonesia, terutama jika kita melihat kembali pada 2017 dan 2019," kata Unaesah Rahmah, pengamat senior di Studi Internasional S Rajaratnam School, Universitas Teknologi Nanyang, Singapura.

Pada 2017 Indonesia mengadakan pemilihan kepada daerah, termasuk pemilihan gubernur Jakarta yang menghasilkan kekalahan petahana Basuki Tjahaja Purnama, seorang Tionghoa-Kristen, dari Anies Baswedan.

Basuki, yang biasa dipanggil Ahok, diadili atas kasus tuduhan penistaan agama ketika itu. Para pengamat mengatakan bahwa kelompok-kelompok Islam telah menggunakan agama sebagai senjata politik untuk menjatuhkan Ahok.

Pemilihan Presiden 2019 - dengan Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, memenangi periode kedua - ditandai dengan maraknya disinformasi terkait isu etnis dan agama. Salah satunya, beberapa kelompok garis keras menuduh Jokowi anti-Islam.

Para politisi "menggunakan agama sebagai penanda identitas ... untuk mengarahkan pemilih" dalam melakukan pilihan mereka, kata Unaesah.

Indonesia belum lama ini mengesahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru pada Desember lalu dan akan berlaku tahun 2025. Menurut analisa kantor berita Reuters, KUHP ini adalah bentuk kompromi antara partai-partai politik dan pemerintah.

KUHP baru tersebut memuat pasal moral yang mencantumkan hukuman penjara hingga satu tahun untuk hubungan seks di luar nikah dan enam bulan untuk pasangan belum menikah yang hidup bersama. Namun terduga pelaku hanya boleh dilaporkan oleh pasangan, orang tua atau anaknya.

Mengutip berbagai sumber, Reuters melaporkan bahwa sejumlah partai Islam menginginkan hukuman yang lebih berat. Sementara partai-partai nasionalis yang berada di kubu koalisi penguasa tidak mendukung pasal moral tersebut.

SEMBOYAN "BERBEDA-BEDA TETAPI TETAP SATU"

Paham Islam konservatif telah berkembang di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Padahal dua organisasi Islam terbesar di negara itu, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dikenal sebagai pengusung Islam yang moderat.

"Muhammadiyah menyebut paham mereka sebagai Islam Wasathiyah, paham Islam yang pertengahan, sementara Nahdlatul Ulama ... mempromosikan gagasan Islam Nusantara," kata Dewi Fortuna Anwar, profesor peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

"Itu adalah kehidupan beragama Islam dalam konteks latar belakang budaya yang beragam ... jauh lebih terbuka, jauh lebih memandang ke depan, sangat toleran pada perbedaan dan tidak mengambil posisi yang ekstrem."

Nahdlatul Ulama menjadi penyelenggara utama Religion 20, sebuah konferensi antaragama global yang diadakan bertepatan dengan KTT G20 di Indonesia tahun lalu.

Kelompok ekstremis dilarang di bawah pemerintahan Presiden Suharto yang berkuasa selama 32 tahun sampai 1998.

Lalu terjadi reformasi politik yang memperbolehkan kebebasan berekspresi dan "membuka pintu bagi siapa pun untuk mendirikan partai politik," kata Todung Mulya Lubis, mantan duta besar Indonesia untuk Norwegia dan Islandia.

Kemudian bermunculan banyak sekali partai politik di Indonesia, termasuk partai politik Islam. Jika ada di antara mereka yang memainkan politik identitas, saya sama sekali tidak terkejut, karena itulah cara untuk membuat rakyat memilih mereka."

Beberapa kelompok garis keras di Indonesia menginginkan khilafah, sebuah negara Islam yang dipimpin oleh seorang pemimpin politik dan agama.

"Kami tidak pernah menolak khilafah. Menolak khilafah adalah kemurtadan," ujar Novel Bamukmin, anggota senior Front Persaudaraan Islam, kelompok yang disebut-sebut sebagai reinkarnasi Front Pembela Islam (FPI).

Novel Bamukmin mengatakan menegakkan khilafah adalah rahmat dari Tuhan.

FPI yang dilarang di Indonesia pada 2020 dikenal sebagai kelompok yang menggerebek bar dan rumah bordil selama bulan puasa. Mereka juga dituduh mengincar Muslim yang tidak menjalankan ibadah serta para penganut agama minoritas.

Kedua organisasi itu memiliki singkatan FPI, namun Novel berkeras bahwa Front Persaudaraan Islam "bukan reinkarnasi" dan memiliki "peraturan internal" yang berbeda.

Organisasi yang mempromosikan Islam moderat "tidak pernah menyuarakan kebenaran", imbuh Novel. "Mereka harus menghancurkan harga diri mereka, dan menghancurkan nilai-nilai agama, nilai-nilai Islam."

Suara-suara moderat seperti Dewi Fortuna Anwar tetap menegaskan bahwa semboyan "berbeda-beda tetapi tetap satu" adalah inti dari Indonesia. "Jika mayoritas menekan minoritas, maka kontrak sosial-politik akan berantakan. Indonesia bisa terjebak dalam konflik yang berkepanjangan," kata dia.

Indonesia telah memiliki kebudayaan yang beragam, bahkan sebelum Islam masuk ke negara ini, kata profesor Dewi Fortuna Anwar.

Ideologi nasional Indonesia, Pancasila, mengandung lima prinsip: Beriman pada Tuhan yang Maha Esa, kemanusiaan yang beradab, persatuan Indonesia, demokrasi dan keadilan sosial.

Di sisi lain, ide kekhalifahan "sama sekali tidak realistis" dan "akan mendorong instabilitas", kata Yahya Cholil Staquf, ketua umum Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam di Indonesia yang didirikan pada 1926.

"Masih ada di dalam masyarakat ini kelompok-kelompok yang memang sengaja hendak membuat masalah. Mereka ingin menunggangi, memanfaatkan momentum politik ini sebagai kesempatan untuk melancarkan strategi, yang pada dasarnya strateginya adalah menciptakan kekacauan." 

KEBEBASAN BERIBADAH YANG RUMIT

Di lapangan, minimnya toleransi terwujud dalam banyak hal, seperti gangguan terhadap kebebasan beribadah umat beragama.

Menurut kelompok advokat hak asasi manusia, Setara Institute, tahun lalu sebanyak 50 rumah ibadah menjadi sasaran gangguan, kebanyakan adalah gereja. Jumlah ini naik dari 16 rumah ibadah pada 2017. Gangguan tersebut di antaranya berupa penghancuran rumah ibadah dan penolakan atas pembangunannya.

Beberapa tahun sebelumnya pada 2006, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan peraturan bahwa sebuah rumah ibadah hanya bisa dibangun atas persetujuan setidaknya 90 pemeluk agama tersebut dan 60 orang di lingkungan sekitarnya. 

Ahmad Gaus, peneliti di Centre for the Study of Religion and Culture (CSRC - Pusat Studi Agama dan Budaya) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan bahwa peraturan itu "dibuat untuk mempersulit pembangunan gereja".

Berbagai masalah juga bermunculan untuk rumah ibadah yang telah berdiri.

Para biksu Buddha mengunjungi candi Borobudur menjelang Waisak di Magelang, Jawa Tengah, pada 1 Juni lalu. (Foto: Devi Rahman/AFP)

Eric Fernando, direktur eksekutif Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI), mengatakan ketika ingin mengadakan aktivitas keagamaan di Borobudur, mereka harus "mengajukan izin dan mekanismenya begitu luar biasa". Selain itu, Eric mengatakan, ada biaya sewa yang harganya juga "luar biasa" agar mereka bisa beraktivitas di candi Buddha berusia ratusan tahun itu.

Ahmad mengatakan, Jokowi telah menegaskan bahwa "semua umat beragama di Indonesia punya hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya". "Tinggal apakah aparat-aparat di bawahnya melaksanakan atau tidak," imbuh Ahmad. 

Dengan reformasi dan demokratisasi yang berjalan di Indonesia, pemerintah lokal memiliki otonomi sendiri. Di beberapa daerah, contohnya, mereka menerapkan pemakaian kerudung di sekolah-sekolah, bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat.

"Di Indonesia, kalau dianggap konservatisme bertumbuh? Iya ... tapi itu juga secara sporadis," kata Jimmy Sormin, sekretaris eksekutif Persatuan Gereja Indonesia (PGI).

Jimmy Sormin berharap pemerintah dengan konstitusinya dapat melindungi agama-agama yang beragam di Indonesia.

Walau demikian, Jimmy menambahkan, konservatisme terjadi "tidak hanya ada dalam Islam" tapi juga di agama Kristen dan agama-agama lainnya.

Di sebagai besar wilayah Indonesia - negara yang 13 persen populasinya adalah non-Muslim - perlu kebijaksanaan bagi pemeluk agama minoritas untuk menjalankan ibadah.

Fernando menuturkan, "aturan-aturan tidak tertulis dalam memeluk agama Buddha di Indonesia" diwujudkan dalam penafian (disclaimer) yang biasanya tertera dalam buku-buku keagamaan. Penafian itu berbunyi bahwa "buku ini ditulis untuk kalangan sendiri", kata Fernando.

"Artinya buku ini diterbitkan bukan untuk berusaha meyakinkan orang lain untuk memeluk agama kami."

Eric Fernando, direktur eksekutif Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI).

MENARUH HARAP PADA MAYORITAS YANG BISU

Di tengah kekhawatiran akan politik identitas, para pengamat meyakini bahwa kelompok mayoritas yang moderat namun tak bersuara akan menjadi benteng pertahanan terhadap ekstremisme. Salah satunya mungkin adalah Maswi, seorang penjaga masjid.

Maswi menjaga masjid Luar Batang di Jakarta. Di masjid tersebut terdapat makam Al-Habib Husein bin Abubakar Alaydrus, yang diyakini keturunan Nabi Muhammad, datang dari Yaman untuk menyebarkan Islam di Indonesia.

Makam itu didatangi peziarah empat kali lipat lebih banyak di bulan puasa. Namun ziarah makam ini kontroversial, karena sebagian Muslim memandangnya sebagai penyembahan terhadap kuburan yang terlarang dalam Islam.

Maswi menanggapi pandangan itu dengan santai. Mereka yang tidak meyakininya, tidak usah datang, kata Maswi.

Di lingkungan tempat tinggalnya, terdapat masyarakat Tionghoa dan non-Muslim lainnya yang hidup rukun. "Kami saling menghormati, dan kami tidak mempermasalahkan tentang agama lain," kata dia. "Itulah sebabnya ... sampai sekarang, tidak pernah ada konflik."

Maswi, 51, disambut oleh warga di lingkungannya pada perayaan Idul Fitri tahun ini.

Masyarakat Indonesia seharusnya "cukup cerdas untuk tidak terlalu memasukkan politik ke dalam hati" ketika menyaksikan politik identitas dan kontestasi politik yang buruk, ujar Dewi Fortuna Anwar.

Pada pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017, imbuh Dewi, "seakan-akan Indonesia akan terpecah belah". Hal serupa terjadi pada pemilihan presiden 2019. Tapi setelah itu para elite politik "kembali bersatu", dan Dewi mengatakan, kandidat yang kalah, Prabowo Subianto, bahkan bergabung dengan kabinet Jokowi.

"Saya berharap para elite politik tidak menggunakan isu identitas yang murahan, yang bisa sangat merusak, memecah belah, hanya untuk memenangkan suara."

Saksikan episode Insight CNA di sini. 

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris. 

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai para pensiunan pesepak bola Indonesia yang mengalami kesulitan hidup setelah mereka pensiun.

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/da(ih)
Advertisement

Also worth reading

Advertisement