Komentar: Bagi sebagian orang, lepas dari bayang COVID-19 adalah hal mustahil
Betapapun masyarakat Singapura ingin mengakhiri pandemi ini, namun perlindungan bagi mereka yang rentan terhadap COVID-19 masih harus dilakukan, kata dokter spesialis penyakit menular Leong Hoe Nam.

SINGAPURA: Chia (bukan nama sebenarnya) dilarikan ke rumah sakit pada suatu malam dalam keadaan sesak, lemah dan linglung. Dia sudah demam selama dua hari dan penghitungan denyutnya pada oksimeter menunjukkan angka 84 persen. Ketakutan terbesar keluarganya menjadi nyata saat alat uji mandiri COVID-19 menunjukkan dua garis merah yang familier.
Chia telah berjuang melawan kanker usus besar, yang terus tumbuh kendati sudah menjalani kemoterapi. Menderita COVID-19, pria 84 tahun yang dulunya ceria dan jenaka itu sekarang terbaring di tempat tidur, terlihat tidak bersemangat, hanya mau makan sedikit, ditambah dengan susu.
Perjuangan melawan pandemi COVID-19 sejak 2020 masih jauh dari kata selesai. Seiring transisi Singapura untuk hidup dengan endemi COVID-19, laporan jumlah penderita masih turun-naik.
Setelah gelombang penderita baru di pekan terakhir 2023, dengan perkiraan 58.300 kasus dalam sepekan di Desember, angkanya diperkirakan telah mencapai puncak. Namun, kapan gelombang berikutnya akan terjadi lagi?
Dari 226 kematian akibat COVID-19 antara Januari dan Oktober 2023, sebanyak 210 di antaranya berusia 60 tahun ke atas. Virus ini masih menjadi ancaman serius dengan risiko kesehatan yang parah bagi orang dewasa tua dan mereka dengan penyakit kronis, seperti sakit pernapasan, tekanan darah tinggi, kanker dan diabetes.
Riset menunjukkan bahwa mereka kemungkinan besar akan sakit berat jika terjangkit COVID-19 dan harus dirawat di rumah sakit. Risiko kematian meningkat seiring bertambahnya tingkat keparahan dan banyaknya penyakit penyerta.Â
Kenaikan jumlah pasien rawat inap dan kematian memang tidak semenakutkan seperti pada 2020 dan 2021. Anak-anak muda yang sehat sudah sepenuhnya 'move on' dari pandemi, melepaskan masker dan tidak lagi menjaga jarak, 'balas dendam' dengan bepergian.
Bagi kebanyakan orang, COVID-19 memang sudah terlupakan dari benak mereka. Tapi, virus ini masih menjadi tantangan bagi masyarakat yang rentan.
BEBERAPA KELOMPOK MASYARAKAT MASIH KHAWATIR
Beberapa kelompok masyarakat masih khawatir akan COVID-19. Mereka mungkin mengalami gangguan kekebalan tubuh sehingga tidak bisa menerima vaksin atau memiliki respons kekebalan tubuh yang berkurang terhadap vaksin.
Ketakutan yang terus menerus akan tertular COVID-19 membuat beberapa orang memilih diam di rumah dan mengurangi kontak dengan dunia luar, hanya berkomunikasi sesekali lewat telepon. Ketakutan ini memiliki dampak yang besar terhadap kesehatan mental seseorang, mulai dari munculnya kecemasan, depresi, ketidakberdayaan hingga rasa frustrasi, dan ini sangat memengaruhi kehidupan mereka secara keseluruhan.
Kita harus menanggapi ketakutan mereka dengan serius.Â
Selain masalah keamanan, kerugian ekonomi yang timbul akibat mengabaikan kelompok ini bisa sangat besar. Menurut laporan dari perusahaan farmasi MSD, beban biaya yang ditanggung akibat COVID-19 di Asia Pasifik masih besar dan tidak merata di antara segmen masyarakat dan industri.
Masyarakat yang rentan seperti warga usia di atas 60 atau 65 tahun (tergantung pasar) dan dewasa tua dengan satu atau lebih komorbid kemungkinan besar akan terdampak COVID-19 secara tidak proporsional. Mereka akan menanggung 40 hingga 50 persen dari total biaya ekonomi.Â
Di Singapura sendiri, pengamat memprediksi infeksi COVID-19 terhadap warga lansia memakan biaya sekitar S$565 juta per tahun, atau 16 persen dari gabungan biaya langsung atau tidak langsung.
Tidak diragukan lagi, kesulitan keuangan dan isolasi akibat COVID-19 yang masih berlangsung semakin menambah beban yang dihadapi masyarakat lansia Singapura yang sudah terisolasi dan kesepian.
DARI VAKSIN HINGGA ANTIVIRUS ORALÂ
Bagaimana Singapura dapat melindungi mereka yang rentan dan menghalau virus yang bermutasi dengan cepat? Cara terbaik adalah dengan menerapkan perlindungan berlapis.
Vaksin masih penting untuk menjadi lapis pertahanan pertama. Tetapi bergantung semata pada vaksin seperti meletakkan seluruh telur dalam satu keranjang. Meski adaptasi yang cepat dari vaksin mRNA untuk mencegah strain yang bersirkulasi, namun produsen vaksin selalu tertinggal setidaknya tiga hingga empat bulan.
Varian Omicron pertama kali diumumkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada akhir 2021, namun vaksin yang khusus menargetkan strain ini baru disahkan di Singapura hampir setahun kemudian. Kita telah melihat bagaimana strain baru JN.1 bermutasi secara signifikan terhadap vaksin varian XBB.1.5 yang dirilis di Singapura hampir tiga bulan yang lalu.
Antivirus oral merupakan lapis pertahanan kedua yang penting dan efektif. Di Singapura, HSA (Otoritas Ilmu Kesehatan) telah menyetujui penggunaan darurat dua obat-obatan oral untuk COVID-19, yaitu Paxlovid dari Pfizer, yang dibuat dari kombinasi dari nirmatrelvir dan ritonavir, dan molnupiravir dari MSD yang diberi merek Lagevrio. Obat-obatan ini terbukti mengurangi risiko rawat inap, pneumonia dan kematian.
Penggunaan antivirus oral secara dini dapat mengurangi penularan sekunder kepada kontak dekat. Sebuah studi kohort menunjukkan antivirus oral dapat mengurangi risiko long COVID hingga 14 persen sampai 26 persen. Studi skala-besar terbaru di Korea Selatan menunjukkan antivirus oral dapat mencegah kondisi kritis dan parah atau kematian, dengan hasil yang lebih baik bagi pasien yang lebih tua.
Tapi antivirus oral saat ini tidak diberikan secara rutin bagi masyarakat rentan. Jika demikian, maka kita berisiko kehilangan manfaat dari meringankan beban sistem kesehatan.
MELINDUNGI MEREKA YANG RENTAN
Singapura telah hidup bersama dengan COVID-19 dan penyakit endemik lainnya seperti flu musiman. Namun, COVID-19 merupakan penyakit yang relatif baru dan pemahaman kita tentang virus ini juga terus berkembang.
Hal yang kerap diabaikan adalah kualitas hidup setelah terinfeksi. Riset beberapa kali menunjukkan bahwa setelah tertular, kondisi seorang lansia akan terus menurun dan tidak bisa pulih sepenuhnya seperti saat sebelum terjangkit, membuat kerentanan mereka semakin tinggi.
Chia memang telah sembuh dari penyakit COVID-19. Tapi dalam dua hingga tiga pekan setelahnya, kondisinya melemah dengan napas yang sesak dan menolak makan. Dia meninggal dunia sebulan setelah pulih dari COVID-19.
Betapapun kita ingin mengakhiri pandemi COVID-19 di tahun yang baru ini, namun kita masih bisa berbuat lebih banyak untuk melindungi warga Singapura secara menyeluruh dari dampak terburuk dari virus dan menyelamatkan masyarakat yang rentan.
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.