Pejabat WHO: 1 dari 7 orang Asia Tenggara alami gangguan mental, kebanyakan telat ditangani
Penasihat regional WHO untuk bidang kesehatan mental di Asia Tenggara, dr. Andrea Bruni, soroti stigma terkait gangguan jiwa yang masih tinggi di kawasan ini.

SINGAPURA: Sekitar 260 juta atau satu dari tujuh orang di Asia Tenggara alami masalah kesehatan mental atau gangguan jiwa, dan banyak dari mereka terlambat memperoleh pengobatan, ungkap seorang pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Kepada CNA, dr. Andrea Bruni, penasihat regional WHO untuk bidang kesehatan mental di Asia Tenggara, mengatakan bahwa gangguan kejiwaan sangat umum di kawasan ini.
Sementara itu, kesenjangan dalam hal pengobatannya justru begitu besar, ujarnya dalam wawancara pada tanggal 10 Oktober lalu, bertepatan dengan Hari Kesehatan Mental Sedunia.
"Di beberapa negara, kesenjangan pengobatannya mencapai 90 persen, artinya ada hingga 90 persen dari mereka dengan kebutuhan terkait kesehatan mental tidak menerima pengobatan dan perawatan yang sesuai dan tepat waktu, atau bahkan tidak memperoleh perawatan dan pengobatan sama sekali."
STIGMA MASIH TINGGI
Berbicara dari New Delhi, dr. Bruni menambahkan bahwa stigma terkait gangguan jiwa juga masih tinggi di Asia Tenggara.
"Sering kali, stigma berubah menjadi diskriminasi terhadap penderita gangguan ini. Stigma pun lebih kentara pada para penderita gangguan mental yang parah."
Ia menambahkan, mitos yang umumnya berkembang di kawasan ini adalah bahwa individu dengan masalah-masalah kesehatan mental membutuhkan pengobatan, perawatan, dan dukungan di lembaga kesehatan mental, rumah sakit jiwa, dan osilum.
"Kenyataannya tidak begitu. Faktanya adalah mereka yang memiliki masalah kesehatan mental butuh layanan-layanan yang berbasis pada komunitas, yang lebih mudah diakses dan lebih menghormati hak-hak asasi manusia," jelasnya.
Keadaan pun kini perlahan berubah, ujar dr. Bruni.
"Banyak hal mulai berubah berkat keterlibatan aktif dan pemberdayaan orang-orang yang pernah mengalaminya sendiri serta para pemberi perawatan, (mereka) yang memang seharusnya jadi bagian integral dan fundamental dalam merancang kebijakan dan layanan kesehatan mental."

SEHAT JIWA SEBAGAI HAK UNIVERSAL
Pada Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun ini, WHO fokus pada hak universal untuk sehat secara kejiwaan.
"Kesehatan mental yang baik itu vital bagi kesehatan dan kesejahteraan kita secara umum, dan setiap orang berhak menikmati standar kesehatan mental yang setinggi-tingginya," kata dr. Bruni. Ia menambahkan bahwa organisasinya berupaya agar kesejahteraan mental dapat ditingkatkan dan dijaga.
"Tapi sayangnya, di seluruh dunia dan juga di kawasan Asia Tenggara, penderita masalah kesehatan mental terus-menerus mengalami berbagai macam pelanggaran HAM dan banyak dari mereka dikucilkan dari komunitas dan masyarakat.
"Memiliki gangguan mental sama sekali bukan alasan untuk merampas hak asasi seseorang dan menghalanginya dari berpartisipasi di masyarakat."
Terhitung pada 2019, menurut lembaga kesehatan PBB ini, ada hampir satu miliar orang, atau sekitar satu dari delapan orang di seluruh dunia, dengan gangguan kejiwaan.
Para ahli memperkirakan angka tersebut kini jauh lebih tinggi akibat berbagai pemicu stres global dalam beberapa tahun terakhir, seperti pandemi COVID-19, konflik Rusia-Ukraina, dan krisis iklim yang terus berlangsung.
"Meskipun ada banyak penelitian tentang tingginya keuntungan dari berinvestasi untuk kesehatan mental, masih ada ketidaksesuaian dalam hal investasi di bidang layanan kesehatan mental," ujar dr. Bruni. "Penting untuk berinvestasi lebih pada sumber daya di bidang kesehatan mental."
KIKIS STIGMA LEWAT PERAWATAN KESEHATAN BERBASIS KOMUNITAS
Masih banyak kesenjangan yang perlu ditutup, kata para pengamat, termasuk kurangnya penelitian, ketidaksesuaian kebijakan, minimnya pendanaan, dan buruknya cakupan pengobatan.
Jaringan perawatan kesehatan berbasis komunitas perlu ditingkatkan, saran dr. Bruni.
“Lazimnya, sebagian besar investasi sumber daya manusia dan keuangan di bidang kesehatan mental diarahkan ke fasilitas tersier, rumah sakit jiwa, dan osilum,” kata dr. Bruni.
“Kita tahu fasilitas-fasilitas ini bukan saja tidak mampu mengatasi kesenjangan pengobatan di bidang kesehatan mental, tetapi juga sering dihubungkan dengan pelanggaran, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Penting halnya untuk mengubah kecenderungan ini dan berinvestasi memperkuat dan memperluas jaringan kesehatan mental di komunitas-komunitas.”
GANGGUAN MENTAL PADA KAUM MUDA
Menurut WHO, gangguan mental masih merupakan salah satu dari 10 penyebab utama beban penyakit (disease burden) di seluruh dunia selama lebih dari satu dekade. Dua yang paling umum adalah depresi dan gangguan kecemasan.
Para pengamat menekankan bahwa gangguan-gangguan tersebut kini signifikan pada kaum muda.
Berbagai penelitian di Amerika Serikat, misalnya, secara khusus mengaitkan penggunaan media sosial dengan gangguan kecemasan dan depresi di kalangan anak muda.
"Jelas terdapat peningkatan, termasuk setelah COVID-19, yakni gangguan kecemasan dan depresi di kalangan anak muda dan remaja," kata dr. Bruni. Ia pun menambahkan bahwa media sosial telah menjadi pedang bermata dua.
"Media sosial, dan media secara umum, dapat memainkan peran yang sangat positif, sekaligus negatif. Ini berlaku di banyak wilayah untuk hal kesehatan mental, depresi, gangguan kecemasan, dan satu topik yang masih terkait, yakni pencegahan bunuh diri."

BUNUH DIRI: TANTANGAN SERIUS BIDANG KESEHATAN PUBLIK
Bunuh diri juga menjadi perhatian serius para ahli kesehatan.
Menurut WHO, setiap tahunnya sekitar 200.000 orang di Asia Tenggara meninggal dunia dengan cara bunuh diri.
"Kita tahu bahwa bunuh diri adalah penyebab utama kematian dini di kalangan anak muda di banyak negara," ujar dr. Bruni.
Ia menyoroti beberapa hal konkret yang bisa dilakukan pemerintah, seperti memberi perhatian kepada mereka yang berpikiran untuk bunuh diri, meningkatkan pemberitaan yang bertanggung jawab di media tentang bunuh diri, dan membangun keterampilan kehidupan sosial dan emosional kaum muda.
Demi pencegahan, cara orang-orang bunuh diri juga perlu disoroti, tambahnya.
"Dan di kawasan ini, kita tahu sarana paling umum adalah pestisida. Jadi kita perlu mengatur, membatasi, dan melarang akses ke pestisida."
Menurut dr. Bruni, masalah bunuh diri adalah tantangan serius di bidang kesehatan publik. "Kita perlu mengatasinya karena kita tahu bunuh diri dapat dicegah, meski mencegahnya bukanlah hal yang mudah."
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.Â