Kebutaan, sulit berjalan dan bernapas tak surutkan semangat Syarnissa untuk jelajahi dunia dan bantu sesama
Syarnissa Dahuri, 34, lahir dengan kondisi medis yang membuat matanya buta, sulit bernapas dan mobilitasnya terbatas. Meski demikian, perempuan Malaysia ini dengan bangga menyebut kekurangannya itu sebagai "superpower" dan berusaha hidup mandiri sembari membuka peluang bagi penyandang disabilitas untuk masuk ke dunia kerja.

MALAYSIA: Setiap kali mengikuti wawancara kerja, ada tiga hal yang saya khawatirkan. Pertama, apakah pewawancara akan terkesan dengan pengalaman saya. Kedua, apakah pewawancara akan menganggap saya cocok untuk perusahaan. Dan ketiga, apakah pewawancara akan merasa sangat terganggu dengan warna mata saya yang biru karena buta sehingga mereka tidak fokus pada perkataan saya.
Saya terlahir dengan glaukoma kongenital bilateral, sebuah kondisi medis yang memicu peningkatan tekanan terhadap kedua mata sehingga merusak saraf optik. Mata kiri saya buta total dan penglihatan mata kanan saya hanya 2 persen, turun dari 15 persen ketika saya lahir.
Saya juga menderita spina bifida, sebuah kondisi cacat lahir yang menyebabkan tulang belakang dan sumsum tulang belakang tidak berkembang dengan baik. Akibatnya, saya memiliki masalah dengan gerakan dan perasa, terutama di bagian bawah tubuh.
Terakhir, saya terlahir dengan penyakit paru-paru kronis yang menyebabkan masalah pernapasan. Akibatnya, sulit bagi saya untuk bernapas.
Untuk bertahan hidup, saya mengandalkan banyak alat bantu. Untuk membaca, saya menggunakan pembaca layar digital, bergerak dan menopang punggung dibantu tongkat, dan untuk mengendalikan rasa sakit serta mengatur pernapasan saya harus banyak minum obat dan pil berwarna-warni.
Banyak orang menyebutnya sebagai disabilitas, dan walau saya tidak setuju atau bermasalah dengan kata 'disabilitas', tetapi saya tidak menganggap kondisi saya demikian. Saya menyebut kondisi ini sebagai "superpower" karena inilah yang membuat saya istimewa.
LAHIR DENGAN TIGA 'KEKUATAN SUPER'

Memiliki tiga "superpower", kehidupan masa kecil saya di Kelantan, Malaysia, tempat saya dilahirkan, dipadati dengan jadwal perawatan medis.
Saat balita, bukannya main di taman bermain, saya malah berada di rumah sakit, klinik dan ruang operasi. Waktu saya terbagi antara departemen oftalmologi untuk perawatan mata, neurologi untuk otak dan sumsum tulang belakang, dan respirasi untuk perawatan paru dan pernapasan. Hingga hari ini, saya telah menjalani puluhan bedah, paling banyak untuk mata dan punggung.
Meski demikian, dan karena dukungan keluarga, saya memiliki banyak sekali kenangan indah di masa kecil.
Orang tua selalu menyempatkan waktu mengantarkan saya berobat, mengatur tata letak di rumah kami agar saya mudah berkeliaran, dan walau mereka khawatir, tapi tidak mengurung saya di rumah. Mereka akan membawa saya dan kakak-adik keluar untuk bermain.
Saya bisa saja merasa menjadi beban dalam banyak hal, tapi keluarga saya tidak pernah menganggap saya seperti itu.
Saya adalah anak tengah. kakak perempuan dan adik lelaki saya selalu mendukung saya - secara harfiah dan kiasan. Terutama kakak saya, dia akan membantu saya berjalan di dalam dan luar rumah sampai saya benar-benar tidak butuh bantuannya lagi. Dia akan memakaikan saya baju yang cantik, mendandani saya, dan membantu tugas-tugas sekolah.
Saya bisa saja merasa menjadi beban dalam banyak hal, tapi keluarga saya tidak pernah menganggap saya seperti itu. Mereka adalah support system yang berharga, dan tanpa mereka saya tidak akan memiliki kepercayaan diri seperti sekarang.
SISTEM PENDIDIKAN TIDAK DIRANCANG UNTUK SAYA

Ketika beranjak dewasa, saya menyadari ada banyak tempat yang tidak ramah penyandang disabilitas.
Ketika sudah siap bersekolah di usia tujuh tahun, saya bersikeras masuk sekolah umum, bukan sekolah khusus buat orang buta. Awalnya, saya ingin menunjukkan bahwa saya bisa menerima pendidikan umum. Lalu lambat laun, hal itu menjadi tujuan hidup saya. Saya ingin menempuh pendidikan penuh agar bisa membantu orang seperti saya di masa depan.
Orang tua saya akhirnya membulatkan hati dan menyetujuinya. Saya lalu bersekolah di sekolah negeri di Kelantan.
Pada tahun 1990-an, pembelajaran sebagian besar melibatkan pena dan kertas, itu jadi tantangan bagi saya yang tidak bisa melihat. Saya harus bergantung pada guru untuk membaca dengan keras, teman-teman kelas yang baik juga menuntun saya dari satu kelas ke kelas lainnya.
Keluarga saya memang memberikan kenyamanan dan jadi penguat saya di rumah, tapi di luar rumah kondisinya berat dan tidak terlalu menerima kondisi saya.
Karena kondisi ini, terutama mata saya yang biru, saya jadi sasaran ledekan - anak-anak lain mengejek saya "zombie" atau "alien". Beberapa anak memang baik, tapi tidak mudah bagi mereka untuk berkawan dengan seseorang yang tidak bisa melihat, sulit berjalan dan bernapas.
Ketika saya berusia 10 tahun, saya diminta pindah karena sekolah tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk mendukung kebutuhan saya.
Saat itu, saya sangat sedih. Keluarga saya memang memberikan kenyamanan dan jadi penguat saya di rumah, tapi di luar rumah kondisinya berat dan tidak terlalu menerima kondisi saya.
Dunia seakan mengatakan bahwa walau saya percaya kepada diri sendiri, namun saya masih berbeda dari orang lain. Bahkan ada kalanya saya merasa sebaiknya tidak dilahirkan saja.
Tapi saya punya tujuan. Saya tidak ingin menyerah meski ini tidak mudah.
Saya belajar untuk menjadi tim sorak untuk diri sendiri. Saya meyakinkan diri bahwa tidak apa-apa meminta pertolongan dan tidak usah merasa jadi beban. Tidak apa-apa jika membuat orang lain sedikit tidak nyaman untuk membantu saya.
Saya menyebut kondisi ini sebagai "superpower" karena inilah yang membuat saya istimewa.
Berkat tekad orang tua saya untuk mencari sekolah yang lebih akomodatif dan ramah penyandang disabilitas, saya akhirnya mendaftar di sekolah negeri lainnya.
Dengan dukungan keluarga, saya belajar membaca dan berbicara bahasa Melayu dan Inggris, serta menghafal tata letak huruf dalam kibor standar. Saya cukup baik di sekolah dan bahkan punya pekerjaan paruh-waktu mengajar les bahasa Inggris untuk adik-adik kelas.
Saya membagi waktu antara berobat di Kelantan dan Kuala Lumpur, belajar untuk ujian, dan bekerja sebagai guru les.
Pencapaian demi pencapaian datang silih berganti. Terkadang, saya sendiri terkejut akan betapa baiknya prestasi saya di sekolah, walau banyak kata-kata negatif tentang kondisi saya.
Saya semakin yakin kepada diri sendiri, tidak lagi mengasihani diri sendiri atau kondisi saya saat dilahirkan.
Sekitar 10 tahun setelah diminta keluar dari sekolah yang pertama, saya lulus sekolah dasar, lalu sekolah lanjutan, dan pendidikan pra-universitas.
MENEMUKAN DAN MEMBANGUN KOMUNITAS YANG BERPIKIRAN TERBUKA

Setelah menyelesaikan pendidikan pra-universitas pada 2010 di usia 21 tahun, saya mendapat dua tawaran beasiswa. Saya bisa saja mengambil studi di Malaysia tempat saya sudah merasa nyaman, tapi saya memutuskan mengambil beasiswa akuntansi di Queensland University of Technology di Brisbane, Australia.
Keputusan saya untuk kuliah di luar negeri membuat orang tua khawatir dan cemas. Tapi saya bersyukur mereka memberikan saya kepercayaan untuk tetap berangkat.
Belajar di Australia adalah masa-masa terbaik dalam hidup saya. Saya menemukan kawan-kawan yang berpikiran terbuka, terhubung dengan komunitas yang ramah penyandang disabilitas, dan semakin menumbuhkan rasa percaya diri karena saya telah belajar hidup sendirian di luar negeri.
Itu adalah periode yang menguatkan dan saya merasa seperti seekor burung – membentangkan sayap dan terbang dengan bebas.
Saya tinggal di lingkungan kampus dengan empat teman serumah yang selalu melibatkan saya di semua aktivitas. Mereka tidak pernah merasa aneh dengan keterbatasan saya. Saya bahkan berkawan dengan satu keluarga yang ramah, yang menyambut saya di rumah mereka dan sering mengajak saya rekreasi keluar kota di akhir pekan atau sekadar berjalan singkat keliling kota.
Bahkan saat ini, saya kadang masih tetap kontak dengan bekas teman serumah dan keluarga tersebut.

Di masa-masa kuliah itu juga saya mulai melakukan perjalanan solo. Awalnya menakutkan. Tapi saya sadar bahwa kebanyakan orang, tak peduli kondisi mereka, juga takut ketika bepergian jauh sendirian untuk pertama kalinya.
Seperti mereka, saya juga menentukan tempat-tempat tujuan dengan membaca-baca di internet tentang tradisi setempat. Saya juga akan meminta bantuan orang asing juga butuh pertolongan.
Beberapa negara, seperti Inggris dan selandia Baru, sangat ramah bagi penyandang disabilitas sehingga memudahkan saya untuk menjelajahinya sendirian.
Hingga saat ini, saya telah mengunjungi lebih dari 20 negara, kebanyakan sendirian, seperti Bosnia, Jepang, Turki, Kroasia dan Hong Kong. Saya juga telah melaksanakan umrah ke Arab Saudi.
Saya tidak sabar menantikan perjalanan berikutnya, entah solo atau dengan keluarga, atau dengan calon suami yang memiliki pandangan yang sama, saat kami nanti membangun keluarga bersama.

Namun, setelah berkuliah dua tahun di Australia dan lulus pada 2012, pengalaman mencari kerja di Malaysia mengembalikan kenangan ketika saya berusia 10 tahun.
Saya menemui banyak sekali penolakan – ratusan, ini betulan – dan beberapa pemberi kerja secara terang-terangan mengatakan bahwa saya dengan kondisi seperti ini tidak akan bisa melakukan pekerjaan dengan baik, termasuk di departemen strategi, komunikasi dan manajemen proyek tempat saya melamar.
Setelah 23 tahun hidup dengan perjuangan tanpa henti untuk memberi ruang pada sendiri dan pengorbanan tak bertepi dari orangtua, bagaimana mungkin saya menyerah?
Saya akhirnya menghadapi semuanya tanpa rasa khawatir dan mulai mencari pekerjaan yang lebih ramah-disabilitas. Akhirnya setelah beberapa bulan, saya mendapatkan pekerjaan di proyek komunitas milik sebuah perusahaan multinasional.
Sudah lebih dari 10 tahun sejak saat itu. Saya telah bekerja di empat perusahaan berbeda, di posisi yang membantu perusahaan membuka peluang kerja bagi mereka dengan disabilitas, seperti gangguan penglihatan, pendengaran dan masalah mobilitas.
Setelah 23 tahun hidup dengan perjuangan tanpa henti untuk memberi ruang pada sendiri dan pengorbanan tak bertepi dari orangtua, bagaimana mungkin saya menyerah?
Dunia boleh jadi keras dan dirancang untuk orang-orang tanpa disabilitas, tapi bukan berarti kita tidak bisa membangkitkan kesadaran untuk membentuk masyarakat yang lebih inklusif.
Ini bukan sekadar mempekerjakan orang penyandang disabilitas, tetapi juga mendobrak pembatasan pemikiran dan mengenyahkan keyakinan bahwa mereka yang buta atau dengan keterbatasan hanya bisa melakukan hal-hal kecil saja.
Dulu saya merasa sedih telah dilahirkan. Tapi sekarang, saya bersyukur bisa membuka jalan untuk orang-orang yang senasib dengan saya.
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.