Candu bagi remaja itu bernama medsos – apa dampaknya bagi kesehatan jiwa mereka?

SINGAPURA — Nadheeruddin Tajuddin, seorang siswa berusia 14 tahun, menghabiskan sekitar empat hingga lima jam sehari di media sosial, kadang-kadang hingga dini hari, sampai-sampai ia sering merasa "agak enggak karuan" saat bangun pagi.
Ia pun kadang merasa pusing atau mual setelah bergadang selama beberapa pekan berturut-turut. Jika itu terjadi, dia lantas menarik diri dari media sosial selama beberapa hari, meski akhirnya kembali lagi.
Walaupun Nadheeruddin — yang kerap menggunakan TikTok dan sesekali membuka Instagram dan Twitter — merasa bahwa medsos telah memperburuk konsentrasinya di kelas, dia enggan menghapus semua aplikasi media sosialnya karena takut ketinggalan info dan tren .
Bagi siswa SMP kelas 4, Rebecca Kui, algoritma Instagram dan fitur gulirnya yang tak terbatas membuatnya terus disodori video dan konten yang dia nikmati. Hal tersebut bisa membuatnya terhibur hingga berjam-jam sampai sulit untuk meletakkan ponsel.
"Menakutkan sih, soalnya kita jadi mulai mengabaikan prioritas lain, dan dari sekian menit jadi sekian jam itu cepat banget," ujar gadis usia 16 tahun tersebut. Menurutnya, medsos itu seperti "narkoba yang kedoknya hiburan".
Rebecca juga menyadari betapa media sosial telah memengaruhi kemampuannya mencerna emosi, sebab dia kerap dicekoki beragam video acak secara terus-menerus melalui laman "For You" di TikTok-nya.
Menonton satu video tentang hewan mati lalu video lain berisikan hal jenaka, misalnya, Rebecca sadar ada yang "menakutkan" ketika perubahan dari menangis ke tertawa bisa terjadi hanya dalam hitungan detik, tak ada jeda di antara keduanya untuk sepenuhnya memproses apa yang telah ditonton.
BUKAN HAL SEPELE
Pengalaman Nadheeruddin dan Rebecca mencerminkan temuan studi dari berbagai penjuru dunia tentang adanya dampak buruk media sosial pada kesehatan mental seseorang.
Samaritans of Singapore (SOS) melaporkan pada Juni silam bahwa tingkat bunuh diri di Singapura tahun lalu merupakan yang tertinggi sejak tahun 2000, dan kebanyakan dilakukan oleh kalangan usia 20-29 tahun.
Pada kelompok usia 10-29 tahun, bunuh diri masih menjadi penyebab kematian utama di Singapura selama empat tahun berturut-turut, yakni sepertiga lebih (33,6 persen) dari seluruh angka kematian. Kematian akibat bunuh diri juga meningkat dari 112 pada 2021 menjadi 125 pada 2022 di rentang usia yang sama.
Studi lokal yang secara konklusif menghubungkan media sosial dengan bunuh diri memang belum ada. Akan tetapi, menurut psikolog-peneliti Jean Twenge dari Amerika Serikat, ada kaitan tak terbantahkan antara lonjakan penggunaan ponsel pintar dan medsos dengan menurunnya kesehatan mental remaja secara global.
Mei lalu, pejabat kesehatan tertinggi AS, Surgeon General Vivek Murthy, menyerukan peringatan penting bagi semua orang tua, perusahaan teknologi, dan pengawas industri. Ia menyebutkan kian kuatnya bukti bahwa penggunaan media sosial menaruh "risiko bahaya besar" bagi kesehatan mental serta keseimbangan hidup anak dan remaja.

Ranjini Veerappan, spesialis bersertifikat untuk masalah kecanduan di Holistic Psychotherapy Centre, mengatakan bahwa otak anak terus berkembang dan tumbuh pesat hingga usia kurang lebih 25 tahun.
Menurutnya, karena kemampuan mereka dalam mengambil keputusan, mengendalikan impuls, dan membuat penilaian masih berkembang, penggunaan medsos yang berlebihan dapat memengaruhi perkembangan otak mereka, dengan berbagai kemungkinan konsekuensi kognitif dan emosional jangka panjang.
Ranjini menambahkan, karena usia, kemampuan mereka menangani berbagai situasi pelik yang mungkin muncul di dunia digital juga terbatas, dan ini dapat memengaruhi kesehatan mental mereka.
Pakar-pakar lain pun menekankan bahwa remaja yang kecanduan medsos akan sulit mengembangkan kemampuan kognitif maupun mengelola emosi — dua bekal penting bagi mereka ketika dewasa.
GAMBARAN BESARNYA
Meski bukti kian banyak, para pakar mengatakan kepada TODAY bahwa kecanduan media sosial belum diakui sebagai gangguan kesehatan mental dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Jiwa (DSM). Manual ini menyajikan klasifikasi standar gangguan mental bagi para profesional kesehatan mental di negara-negara seperti Singapura dan AS.
"Maka kami cuma bisa menyoroti dampak penggunaan medsos yang berlebihan, tapi tidak bisa bicara soal diagnosis karena ini bukan gangguan mental yang diakui," ujar dr. Ong Say How, seorang konsultan senior dan kepala departemen psikiatri tumbuh kembang manusia di Institute of Mental Health, Singapura.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selaku penyusun Klasifikasi Internasional Penyakit (ICD) juga belum membentuk komite kerja resmi untuk menyelidiki gangguan penggunaan media sosial. Ini disampaikan oleh Julianna Pang, seorang terapis kecanduan di Visions by Promises.
Julianna menambahkan, agar suatu kondisi dapat dimasukkan ke dalam ICD, diperlukan pengumpulan data penelitian yang memadai dengan hasil yang konsisten dari seluruh dunia mengenai kriteria diagnostik kondisi tersebut, penilaian tingkat keparahan, dan rekomendasi perawatan.
Tidak disertakannya kondisi tersebut dalam ICD secara formal dapat memengaruhi konsistensi terminologi, pilihan alat diagnostik yang digunakan, dan rekomendasi perawatan, jelas Julianna.
Selain itu, meski beberapa penelitian telah menemukan korelasi antara penggunaan medsos berlebihan dan dampak negatifnya bagi kesehatan mental anak dan remaja, para ahli sepakat akan perlunya penelitian lebih lanjut guna menilai berbagai dampak tersebut secara konklusif, serta untuk membuktikan bahwa media sosial memang memiliki efek buruk pada kesehatan mental remaja.

Dr. Jeremy Sng, dosen di Fakultas Ilmu Sosial di Nanyang Technological University, mengatakan: "Banyak penelitian mengklaim menemukan hubungan antara penggunaan media sosial dan masalah kesehatan mental, tapi arah kausalitas dari penelitian-penelitian tersebut sebenarnya tidak jelas."
Ditambahkannya, metodologi penelitian penting untuk dipertimbangkan, karena korelasi belum tentu berarti sebab akibat.
"Pengaruh media sosial sangat sulit untuk diurai, karena ini bukan perihal menggunakan media sosial saja.
“Kita kan melakukan banyak hal lain — pergi ke sekolah, berurusan dengan keluarga, menjalin hubungan, macam-macam. Jadi sulit untuk memastikan bahwa sesuatu terjadi semata-mata karena media sosial," ujar Dr. Sng.
Psikiater konsultan senior di Promises Healthcare, dr. Adrian Loh, menambahkan: "Media sosial itu baru ada selama sekitar satu dekade terakhir, jadi kita masih mencoba memahami berbagai implikasi hilirnya."
YANG PERLU DIGARISBAWAHI
Mustahil untuk menghindar dari pesatnya digitalisasi dunia, sehingga para orang tua, profesional, pembuat kebijakan, dan berbagai perusahaan media sosial perlu bersama-sama menavigasi segenap tantangan selagi anak-anak dan remaja terus terpapar, sekaligus menggunakan, berbagai platform yang ada, demikian ujar para ahli kepada TODAY.
November tahun lalu, Parlemen Singapura mengesahkan undang-undang yang memungkinkan pihak-pihak berwenang untuk mengeluarkan arahan bagi penyelenggara layanan komunikasi online guna melindungi pengguna lokal dari konten berbahaya seperti kekerasan seksual dan terorisme.
Para penyelenggara layanan yang tidak mematuhi arahan tersebut dapat dikenai denda hingga S$1 juta atau lebih dari Rp11 miliar .
Guna meminimalkan kemungkinan dampak medsos bagi generasi muda, dr. Vivek, Surgeon General AS, mengimbau dalam laporannya agar para orang tua dan pengasuh membuat rencana media keluarga yang menetapkan batasan-batasan teknologi di rumah, menciptakan zona bebas gadget, serta melaporkan konten dan aktivitas daring bermasalah.
Jane Goh, wakil direktur layanan kreatif dan pemuda di Asosiasi Kesehatan Mental Singapura menyatakan bahwa mendidik generasi muda perihal penggunaan medsos merupakan langkah yang tepat.
“Mencegah penggunaan medsos itu tampaknya solusi yang sederhana ya, tapi itu bisa memunculkan rasa terisolasi dari teman sebaya, memunculkan rasa fear of missing out (takut ketinggalan),” ujar Jane, menggaungkan apa yang dirasakan oleh remaja seperti Nadheeruddin.
Bagi Nadheeruddin sendiri, karena ia menggunakan medsos untuk “ngecek apa yang lagi happening”, dia khawatir akan ketinggalan info dan tren jika benar-benar berhenti menggunakannya.
Nicole Pang bisa memahami hal tersebut. Selaku kepala perawatan kesehatan mental di Impart, suatu organisasi nirlaba berbasis anak muda, menurutnya penggunaan medsos yang bertanggung jawab bukan hanya soal membatasi waktu, namun juga tentang memberdayakan anak muda dalam menetapkan batasan-batasannya sendiri serta membuat keputusan aktif dalam menyaring jenis konten.
Menurut Tham Yuen Han, direktur klinis di pusat perawatan kecanduan We Care Community Services, orang tua dapat mencegah ketergantungan digital dengan memprioritaskan pengenalan aktivitas non-digital di masa perkembangan anak.
Berbagai aktivitas di luar ruangan dan olahraga perlu diutamakan, khususnya yang melibatkan interaksi dalam kelompok dan tatap muka, kerja sama tim, serta kolaborasi.

Pada akhirnya, kemampuan untuk menggunakan media sosial secara sehat tak cuma butuh keahlian teknologi dan pengetahuan tentang risiko di dunia maya, tetapi juga kesadaran pribadi serta pengelolaan emosi dan perilaku.
“Kita bisa bantu anak-anak muda menumbuhkan itu dengan bicara soal bagaimana dan apa perasaan mereka, termasuk saat mereka menjumpai apa-apa yang mereka lihat di media sosial,” ujar Dr. Andrew Yee, asisten ahli jurusan media dan komunikasi di Singapore University of Technology and Design.
Claire Leong, seorang konselor di Sofia Wellness Clinic, menyebutkan pentingnya kesadaran bahwa mereka yang kecanduan media sosial saat ini selalu punya harapan untuk keluar dari ketergantungan dan ketakberdayaan.
“Kemungkinan untuk sembuh itu ada. Harus dimulai dengan kesadaran bahwa perilaku saat ini tidak sehat, dan harus ada niat untuk melakukan sesuatu soal itu,” imbuhnya.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai penyebab perselingkuhan dan bagaimana pasutri menghadapinya.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.