Mengapa ada orang yang sangat kejam terhadap hewan?
Hewan terus disiksa dengan beragam alasan – untuk membalas serangan, karena masalah kejiwaan, atau akibat kurangnya kesadaran dan keterhubungan dengan alam dan kehidupan satwa liar.

(Peringatan: Sebagian foto yang ditampilkan dapat mengganggu kenyamanan Anda)
SINGAPURA: Dari seluruh aksi penyelamatan hewan yang melibatkan Lee Yao Huang dalam 15 tahun kiprahnya bersama SPCA (Society for the Prevention of Cruelty to Animals, atau Kelompok Pencegahan Kekejaman terhadap Hewan), ada satu yang begitu membekas.
Di satu rumah susun di daerah Clementi, Singapura, seekor anjing jenis silky terrier ditemukan berkeliaran di satu lantai kosong. Moncongnya terkatup akibat belitan kuat karet gelang.
Saat diselamatkan, karet itu telah menembus hingga ke tulang. Luka selebar 3 cm yang melingkari moncong anjing kecil tersebut tak lagi berdaging, mulai membusuk, serta anyir.
Seseorang telah memilih cara kejam itu untuk membungkam gonggongannya.
"Bayangkan kita jadi hewan, bagaimana rasanya kalau mulut kita dijahit atau diikat? Sampai tidak bisa makan, tidak bisa minum, tidak bisa komunikasi," ujar Yao Huang yang merupakan kepala operasional SPCA.
Kasus serupa bukannya jarang terjadi. Laporan yang dirilis oleh SPCA pada April lalu menunjukkan bahwa kekejaman terhadap hewan di Singapura mencapai level tertinggi pada tahun lalu sejak 2020. Ada 481 kasus pada tahun 2020, 324 pada 2021, dan 511 pada 2022.
Dan dalam tiga bulan pertama di tahun 2023, SPCA telah menangani sebanyak 229 kasus penyiksaan hewan. Menurut Aarthi Sankar, direktur eksekutif organisasi amal ini, jika tren yang sama berlanjut, diperkirakan laporan yang diterima oleh SPCA akan mencapai 800 kasus pada akhir tahun.
Dalam enam bulan terakhir, rangkaian kasus penyiksaan terhadap hewan jadi sorotan di Singapura. Salah satunya melibatkan seorang anak yang melempar seekor kucing dari lobi lift. Ada pula pembantaian terhadap ular sanca oleh sekelompok pria di kawasan Boon Lay.
CNA mewawancarai beberapa ahli kesehatan mental, kelompok perlindungan binatang, serta pihak berwenang. Ada apa di balik kasus-kasus penyiksaan terhadap hewan ini? Dapatkah dicegah? Bagaimana penanganan hukumnya?

ADA YANG BERMULA DARI ISU KEJIWAAN
Entah itu memukul ular karena takut, atau seseorang yang pemarah mendisiplinkan hewan peliharaannya dengan tangan besi, kekejaman terhadap hewan bisa berawal dari sesuatu yang sederhana seperti membalas serangan, atau yang lebih pelik seperti masalah kesehatan mental.
Banyak pula motivasi yang tidak terkait dengan psikiatri. Ketidaktahuan akan cara merawat hewan secara tepat, sikap budaya dan lingkungan sosial tertentu, hingga emosi laten yang mendadak terpicu dapat berkontribusi terhadap perilaku menyiksa, kata Annabelle Chow, seorang psikolog klinis.
Menurut para ahli, kondisi kejiwaan yang mendasari, seperti sifat impulsif, lemahnya kontrol emosional, dan kurangnya empati, termasuk pendorong utama perbuatan menyiksa hewan.
Ketiga karakteristik tadi sering terlihat pada mereka yang memiliki gangguan kejiwaan, seperti individu dewasa yang antisosial.
Menurut dr. Adrian Wang, seorang psikiater, penderita gangguan ini cenderung agresif dan sering melakukan kekerasan fisik maupun verbal.
"Masalah utamanya ada pada core value system yang keliru. Mereka tidak bisa membaur di masyarakat karena cuma mementingkan diri sendiri. Mereka sering kali senang melihat orang lain menderita," jelas dr. Wang.
"Meski diklasifikasikan sebagai gangguan kejiwaan, bukan berarti perilaku ini bisa dibenarkan. Di sini artinya ada cacat karakter dengan ciri utama berupa kurangnya empati dan rasa penyesalan."
Psikiater dr. Lim Boon Leng setuju bahwa individu dengan ciri-ciri antisosial atau psikopatik memiliki tingkat empati yang rendah terhadap hewan.
Menurut dr. Lim, mereka lebih tega menganiaya hewan karena tidak adanya dampak bagi diri mereka sendiri, sehingga hewan-hewan lemah di sekitar mereka pun menjadi sasaran empuk.
"Di sini kita bicara soal apakah korban bisa mengekspos pelaku. Hewan kan tidak bisa mengekspos pelaku, jadi mereka ini korban yang sangat 'low-risk,' istilahnya. Saya kira itulah kenapa mereka terus balik ke hewan," tambahnya.
Menurut dr. Wang, kontrol impuls yang lebih rendah juga menjadi ciri individu dengan IQ rendah maupun cacat intelektual.
Ia menambahkan, individu semacam itu mungkin saja tidak mampu memahami konteks perilaku mereka. "Dibutuhkan fungsi otak yang lebih tinggi untuk mengendalikan dan mengelola emosi. Jadi yang IQ-nya rendah ini lebih meledak-ledak amarahnya."
Psikiater konsultan senior di Promises Healthcare, Singapura, dr. Jacob Rajesh, menjelaskan bahwa rendahnya IQ juga bisa dikaitkan dengan kurangnya kemampuan mengatasi rasa frustrasi.
"Mereka lebih impulsif. Saya pernah menjumpai satu atau dua kasus di mana mereka melukai kucing sampai cukup parah. Ini tidak terlalu umum, tapi bisa saja terjadi," ujarnya.
Berdasarkan berbagai penelitian yang menyajikan korelasi antara kekerasan dalam rumah tangga dengan tindakan penyiksaan hewan, para ahli menyebutkan bahwa pelaku penyiksaan itu sendiri mungkin pernah menjadi korban kekerasan.
"Para pelaku penyiksaan sering punya beberapa ciri dan pengalaman yang sama. Misalnya riwayat pengalaman traumatis dini seperti dilecehkan, ditelantarkan, atau penyalahgunaan narkoba, juga riwayat kekerasan dalam rumah tangga ataupun bullying," jelas Chow.
Jika dibiarkan, mereka bisa makin kejam, makin sering melakukan kekejaman, bahkan dapat melakukannya terhadap sesama manusia, jelas para ahli.
"Kalau sampai tega berlaku kejam terhadap hewan, itu tandanya kurang empati, dan ketika empati kurang, hal yang sama berlaku dalam perlakuan terhadap sesama manusia," kata dr. Lim.
"Ketika tingkat empati seseorang itu lebih rendah, dia tidak merasakan sakit yang mungkin dirasakan orang lain, sehingga dia jadi lebih gampang menyakiti."
Individu semacam ini mungkin saja menjadikan anggota keluarga yang cenderung pasrah, misalnya anak-anak, sebagai targetnya.
KURANG KESADARAN BERBUAH INTOLERANSI
Beberapa individu memilih untuk mengambil tindakan sendiri dan menyakiti hewan yang memasuki ruang-ruang hidup mereka.
Anbarasi Boopal selaku salah satu direktur utama ACRES (Animal Concerns Research and Education Society, atau Kelompok Penelitian dan Pendidikan Kepedulian Hewan) mengaku ia telah menjumpai berbagai situasi semacam itu.
Lembaga tersebut mencatat 69 kasus kekejaman terhadap satwa liar pada 2019, 49 pada 2020, 86 pada 2021, dan 56 pada tahun lalu.
Ketika hewan liar ditemukan di tempat yang tidak terduga, mereka yang mencoba untuk memindahkan hewan tersebut pada akhirnya justru melukainya, kata Anbarasi.
Dia menyebutkan, beberapa bulan lalu di satu gedung prasekolah, seorang guru menyiramkan air mendidih ke seekor ular-terbang firdaus hingga mati.

Di antara kasus yang ditangani ACRES dalam tiga tahun terakhir adalah biawak yang dibeliti selotip, merpati yang ditancapi jarum, serta iguana dengan kaki diikat.
"Ternyata ketika menyangkut hewan seperti ular dan biawak, orang cenderung mendahulukan rasa takut, dan apa pun yang dilakukan terhadap (binatang-binatang itu) dianggap benar," kata Anbarasi.
"Itu dia kekhawatiran terbesar kami. Kami menemukan bahwa pencegahan saja tidak cukup. Kita butuh kesadaran lebih. Kita butuh toleransi lebih, juga pemahaman bahwa kalau Anda sebegitu takutnya dengan ular, seharusnya dari awal jangan didekati."
Menurut Anbarasi, ketika interaksi antara manusia dengan alam begitu “terkendali” dan “tertata,” atau ketika keterhubungan manusia dengan hewan terbatas pada media, satwa liar cenderung disalahpahami.
"Intinya, rasa takut yang kita semua punya itu ternyata kita serap, entah itu lewat film atau penggambaran tertentu tentang ular di media mainstream. Kata-kata seperti berbahaya, agresif, berbisa, racun – ada istilah-istilah tertentu yang dilekatkan dengan kelompok hewan tertentu."
Melihat petugas ACRES memegang ular, orang-orang menyadari hewan tersebut tidak seseram yang mereka bayangkan, ujar Anbarasi. Ia menambahkan bahwa tidak ada satwa liar pemangsa manusia di Singapura.
Dalam insiden yang terjadi baru-baru ini di luar Pasar Boon Lay Place, Singapura, sikap tidak toleran terhadap hewan yang dianggap berbahaya terlihat dalam penyiksaan terhadap seekor sanca kembang.
Dalam satu video yang diunggah ke laman Facebook ACRES pada April lalu, sekelompok pria terekam mencengkeram sanca tersebut pada ekornya sembari menendangi dan memukulinya dengan kerat dan ember.
Para pria itu tertawa sepanjang kejadian, hingga akhirnya salah satu dari mereka membunuh ular itu dengan cara menebasnya dengan pisau daging.

Ditanya mengapa ada hewan yang disukai dan ada yang dibenci, para ahli mengatakan tiap hewan memang dinilai secara berbeda-beda, dan sebagian dianggap berbahaya.
"Banyak orang takut ular dan melihatnya sebagai sesuatu yang jahat dan buruk. Dalam cerita rakyat, ular dipandang menjijikkan dan jahat, tapi secara biologis ular itu cuma hewan biasa," ujar dr. Wang.
Dalam kasus-kasus yang melibatkan sekelompok orang, biasanya terdapat satu pemimpin dengan "kepribadian kuat" yang memengaruhi pihak lain untuk mengikutinya, kata dr. Wang. Ia menambahkan, hal serupa sering ditemukan dalam perkelahian antargeng.
Ditambahkan dr. Rajesh, mentalitas keroyokan bisa jadi berperan dalam insiden ular sanca atau piton tadi.
"Ketika seseorang menyerang, mencoba membunuh ular, kadang ada orang lewat yang lalu ikut-ikutan mencoba membunuh ular itu bersama-sama," katanya.
"Saat ada empat atau lima laki-laki besar menyerang seekor piton, ada semacam rasa berkuasa, atau mungkin mereka merasa puas bisa menyakiti piton tersebut, dan mereka tahu kalau piton itu tidak bisa balas berbuat apa pun kepada mereka.
"Ini mungkin gabungan dari tekanan pergaulan, mentalitas keroyokan, dan kemudian ada pula pelepasan emosi bagi diri mereka sendiri."
Psikolog forensik senior di Promises Healthcare, June Fong, menambahkan bahwa ada pembagian rasa tanggung jawab dalam satu kelompok.
"Jadi meskipun Anda tahu membunuh hewan itu salah, Anda tidak merasa bertanggung jawab sendirian karena yang lain juga melakukannya. Dan itu akan mengurangi keragu-raguan Anda," katanya.
Menurut Presiden CWS (Cat Welfare Society, atau Kelompok Peduli Kucing), Thenuga Vijakumar, kucing pernah dianggap sebagai hama karena jumlah kucing liar dulu terlalu banyak.
"Awal mula saya jadi sukarelawan, CWS menemukan jauh lebih banyak kucing liar di jalanan (daripada sekarang), dan itu pun sudah overpopulasi.
"Akibatnya terjadi kekurangan sumber daya (untuk merawat) hewan-hewan tersebut, dan banyak yang sangat risih terhadap kucing karena jumlahnya yang terlalu banyak memunculkan gangguan bagi manusia," jelas Thenuga.
Memberi makan secara sembrono juga turut membentuk citra “jorok” kucing, sebab sebagian orang melemparkan makanan untuk kucing begitu saja.
Menurut Thenuga, kini orang-orang melihat bagaimana kucing dirawat secara bersih dan bertanggung jawab, sehingga citra yang lebih positif pun terbentuk.
"Seiring waktu, dengan makin matangnya program sterilisasi dan makin banyaknya penyayang binatang yang terlibat, kami melihat populasi kucing di lapangan sudah lebih terkendali.
"Jadi kejadian-kejadian buruk akibat banyaknya jumlah kucing sudah berkurang," tambah Thenuga yang memiliki lima ekor kucing.
"Nah, yang kita lihat sekarang ini sepertinya lebih ke soal kesehatan mental, dan juga karena kucing-kucing liar gampang sekali dijadikan sasaran."
KETIKA YANG MUDA MENYIKSA
Kasus-kasus yang melibatkan remaja dan anak-anak jarang terjadi sebelum 2022. Tujuh laporan masuk ke SPCA tahun lalu, dan tahun ini sudah ada dua laporan.
"Yang menakutkan adalah sifat dari kasus-kasus ini, bukan sekadar fakta yang terlibat itu anak-anak di bawah umur, tapi karena ada unsur kesengajaan untuk menyakiti dan melukai," ujar Aarthi. Ia menambahkan bahwa insiden semacam ini sudah melampaui rasa penasaran atau keingintahuan.
"Keingintahuan itu misalnya ingin menyentuh anjing untuk merasakan sensasinya, atau ingin memegang ular karena terlihat licin."
Menurutnya fenomena ini terkait dengan "elemen kebaruan," yakni ketika anak-anak meniru apa yang mereka lihat di media sosial, misalnya mengusili hewan peliharaan, demi kesenangan atau hiburan semata.
"Saya bahkan tidak bisa bilang (kalau itu) rasa penasaran, karena saya lihat ... memaksa kucing makan rokok, hampir tidak ada di situ unsur penasarannya," kata Aarthi.
Sebagian pakar lain percaya bahwa anak-anak bisa saja bertindak karena ketidaktahuan, sebab mereka tidak menyadari konsekuensi dari perilaku mereka.
"Kalau orang tua kejam dan menghukum hewan, mungkin saja (anak-anak) juga melakukan hal yang sama," ujar dr. Boon Leng.
"Kadang mereka merasa itu hal yang tepat karena mereka mungkin sedang melatih peliharaannya dan mencoba mencegahnya dari situasi yang menyusahkan, dan dengan memukul hewan itu, mereka kira itu cara yang tepat untuk melatihnya."
Menurutnya, ketidakmampuan seorang anak untuk membedakan benar dan salah dapat membuat mereka bertindak tanpa melibatkan perasaan.
"Bisa juga ada situasi di mana ... mereka bersikap kejam untuk memproyeksikan kemarahan, memproyeksikan kecemasan atau bahkan kadang mendapatkan kepuasan dan kesenangan dari berbuat kejam terhadap hewan itu," tambah dr. Lim.
Dalam kasus-kasus lebih serius, anak-anak mungkin mengalami gangguan perilaku, imbuh para psikiater.
Menurut dr. Rajesh, gangguan semacam ini tercermin pada perilaku buruk anak-anak, termasuk gemar berbohong, bolos sekolah, dan cenderung agresif atau kasar terhadap anak-anak lain maupun benda sekitar.
"Jadi, sebagai bagian dari gangguan perilaku, mereka pun bisa menyakiti hewan. Gangguan perilaku bisa berkembang menjadi gangguan kepribadian antisosial (saat dewasa), ketika mereka bisa jadi melanjutkan kejahatan mereka," jelas dr. Rajesh. Ia menambahkan bahwa kurangnya penyesalan dan empati juga dapat menjadi ciri individu semacam ini.
Ditanya bagaimana sifat-sifat semacam itu muncul, para psikiater menyebutkan kemungkinan perpaduan unsur genetika dengan faktor-faktor lain, misalnya tumbuh dalam keluarga disfungsional yang menormalisasi kekerasan.
"Lingkungan yang membentuk kekerasan atau agresi itu mungkin bahkan lazim di masa sekarang ini, bukan cuma bullies, kawan sebaya atau anggota keluarga dan wali yang agresif," kata dr. Annabelle.
"Mungkin saja anak-anak atau remaja terpapar kekerasan atau perilaku agresif lewat internet, mengingat jangkauan dan peredaran konten (yang menggambarkan) perilaku semacam itu."

DAPATKAH DISEMBUHKAN?
Menurut Fong dari Promises Healthcare, tanda-tanda yang mengindikasikan niat nuntuk menyiksa hewan bisa dikenali.
“Mereka mungkin mencari informasi (di internet) tentang cara-cara menyakiti hewan atau menyingkirkan bangkai hewan,” jelasnya.
“Kalau anak dan remaja memposting di media sosial atau menyukai video yang menampilkan hewan disiksa dan mendukung kekejaman terhadap hewan, itu juga bisa jadi petunjuk.”
Sebagian besar tindakan penyiksaan dilakukan secara oportunistik dan impulsif, dan intervensi yang efektif sering kali hanya bisa dilakukan setelah kejadian.
Menurut Chow, pelaku kekejaman terhadap hewan memiliki riwayat, kondisi, dan motivasi yang kompleks. Intervensi pun bergantung pada akar penyebabnya.
Intervensi psikologis biasanya dimulai dengan mempelajari riwayat pelaku.
Sebagai contoh, Chow memiliki pasien dengan trauma masa kecil. Kemarahan dan frustrasi ia lampiaskan dengan mencekik dan memukul kucing-kucingnya. Bagian dari perawatannya adalah membantunya memahami dan mengelola emosi, memaafkan masa lalunya, serta mencari cara-cara sehat untuk menyalurkan luapan perasaannya.
Menurut dr. Wang, tak ada solusi sapu jagat dalam psikiatri. Konseling dan terapi merupakan komponen penting dalam proses pemulihan, tambahnya.
"Konseling jangka panjang diperlukan karena kita perlu membantu mereka memahami bahwa perilaku mereka melukai orang lain," tambahnya.
Menurut dr. Lim, pada kasus anak-anak yang diduga mengalami gangguan perilaku, intervensi keluarga terbukti bermanfaat.
Ia menjelaskan bahwa melalui terapi yang melibatkan orang tua, anak-anak dapat mengurangi perilaku menyimpang. Di usia dini, kepribadian anak-anak belum sepenuhnya "terkonsolidasi," tambahnya.
"Ini lebih ke terapi – yang terstruktur – menetapkan batasan, juga aturan," kata dr. Rajesh, lantas menambahkan bahwa individu dengan cacat intelektual dapat diajari aneka keterampilan guna meningkatkan kemampuan berkomunikasi.
Menurut Fong dan dr. Rajesh, terapi perilaku kognitif dapat membantu pasien mengembangkan empati serta kemampuan untuk mengevaluasi konsekuensi dari tindakan mereka.
Para ahli umumnya sepakat bahwa ketika penyiksaan dilakukan berulang-ulang dan upaya konseling tidak berhasil, penjara mungkin satu-satunya solusi. Hukuman penjara menjadi contoh bagi yang lain bahwa tidak ada toleransi bagi perilaku menyiksa.
SPCA dan ACRES menekankan pentingnya membentuk sikap yang baik terhadap hewan sejak usia dini melalui pendidikan dan interaksi positif dengan hewan.
PENYIKSAAN HEWAN DALAM PENYELIDIKAN
Sejak 2019, AVS (Animal and Veterinary Service, atau Layanan dan Kedokteran Hewan), satu lembaga Singapura di bawah National Parks Board (Dewan Taman Nasional), telah menyelidiki sekitar 1.250 dugaan kasus kekejaman terhadap hewan setiap tahunnya.
Dari jumlah tersebut, sekitar 5 persen kasus yang meliputi kelalaian, penelantaran, dan penganiayaan telah diganjar tindakan hukum seperti denda nonsidang, surat peringatan, dan tuntutan pengadilan.
Joshua Teoh, direktur investigasi di AVS, menyampaikan kepada CNA bahwa kebanyakan dari kasus-kasus lainnya melibatkan perselisihan antartetangga atau kecelakaan lalu lintas maupun kekerasan terhadap hewan liar.
Setelah menerima laporan, petugas investigasi AVS biasanya mewawancarai saksi-saksi dan bekerja sama dengan berbagai kelompok peduli binatang, klinik hewan, dan lembaga pemerintah lainnya. AVS dapat melakukan razia untuk kasus-kasus tertentu.
Menurut Teoh, satu jenis kasus yang sering terjadi adalah penelantaran hewan peliharaan dalam kondisi tidak layak.
“Berdasarkan apa yang kami kumpulkan dan pelajari pada kasus-kasus terdahulu, saya kira bisa kami simpulkan bahwa mayoritas pemilik hewan peliharaan kurang pengetahuan dan kesadaran akan cara merawat hewan dengan baik,” imbuhnya.
“Jadi menanggapi semua itu, kami mengambil jalur edukasi. Kami berusaha mengajari mereka hal yang benar dan menyampaikan bagaimana caranya bertanggung jawab atas hewan peliharaan, apa saja yang boleh dan tidak boleh. Kebanyakan dari mereka mau menerima dan menjadi lebih baik.”
Di antara beberapa tantangan yang dihadapi AVS dalam proses investigasi adalah kurangnya bukti atau saksi mata. Kadang petugas harus mengandalkan bukti petunjuk, misalnya senjata yang digunakan atau laporan pascamortem hewan yang disiksa.
Saat ini SPCA memiliki empat petugas lapangan dan satu juru inspeksi. Selain menyelamatkan hewan, badan amal ini juga menindaklanjuti laporan kelalaian, penyiksaan, dan penelantaran. Kasus-kasus dapat ditangani dalam satu minggu hingga dua tahun.
Ketika petugas SPCA turun tangan, mereka yang dituduh menyiksa cenderung "sangat defensif."
Dikisahkan oleh Aarthi, suatu kali ada dua anak laki-laki membawa anjing mereka berjalan-jalan, dan salah satunya terekam menarik tali kekang anjing kecilnya hingga terangkat ke udara.
“Kami hubungi dan kami meminta pihak berwenang untuk bergabung memberi konseling, karena ini tipis batasnya antara ‘apa kamu paham cara memelihara anjing’ dan ‘apa kamu sengaja menyiksa.’
“(Kedua anak itu) datang bersama ayah mereka dan ayahnya sangat tidak senang putra-putranya terlibat hal semacam ini.
“Dia berusaha membenarkan (tindakan anak-anaknya) ke kami dan kami selalu kesulitan ketika dia bilang, ‘oh, kan ada tali kekangnya, memangnya apa salahnya kalau saya angkat anjingnya seperti ini?’
“Anda pun sadar mereka mencontoh itu dari orang tuanya.”
Sebagian kasus tidak dapat dilanjutkan karena kurang bukti, kata Aarthi dan Lee kepada CNA.
Menurut Lee, ada pula penyayang binatang yang begitu sedihnya hingga mereka mengkremasi hewan yang disiksa, menghilangkan bukti penting yang dibutuhkan SPCA untuk menindaklanjuti kasus.
Terkadang perlakuan kejam terendus jauh belakangan. Lee berkisah tentang seekor anjing yang kelaparan selama berbulan-bulan. Bangkainya diserahkan kepada SPCA dalam keadaan tinggal "kulit dan tulang."
.jpg?itok=zf95-Ik7)
Pada 2014, pemilik anjing tersebut dikenai denda terberat sebesar S$10.000 (sekitar Rp95 juta) berdasarkan Undang-Undang Hewan dan Burung Singapura.
SPCA sebelumnya meminta agar pemilik anjing tersebut dipenjara, menyatakan denda tersebut “tidak cukup untuk penelantaran dan penganiayaan yang sedemikian ekstrem dan menyiksa terhadap hewan tak bersalah dan tak berdaya,” sebagaimana dilansir koran TODAY Singapura.
Senada dengan itu, Aarthi menyerukan pemberlakuan hukuman lebih berat serta larangan memiliki hewan peliharaan seumur hidup bagi pelaku. Menurut peraturan terkini di Singapura, pelaku dapat didiskualifikasi dari kepemilikan hewan peliharaan paling lama satu tahun.
Menurut jawaban parlementer tertulis oleh Kementerian Pembangunan Nasional Singapura pada bulan Maret lalu, 11 perintah diskualifikasi telah diberlakukan pada tahun 2022 atas pelaku kekejaman terhadap hewan.
Berdasarkan Undang-Undang Hewan dan Burung yang berlaku, pelaku kekejaman terhadap hewan dapat dihukum penjara hingga 18 bulan, denda hingga S$15.000 (sekitar Rp165 juta), atau keduanya. Jika mengulanginya, pelaku dapat dihukum penjara hingga tiga tahun, denda hingga S$30.000, atau keduanya. Hukuman bisa lebih berat apabila pelaku bekerja di bidang yang berkaitan dengan hewan.
Terkait kasus anjing jenis silky terrier yang moncongnya diikat, belum ada yang teridentifikasi sebagai pelaku.
“Untungnya anjingnya sudah pulih dalam perawatan kami dan diadopsi beberapa bulan kemudian,” ujar Lee diiringi senyum.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai nestapa pensiunan pesepak bola yang terpaksa jual medali demi penuhi kebutuhan hidup.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.