Batuk bayi dan petani yang susah payah memadamkan api: Ketika warga Sumsel berjibaku hadapi kebakaran hutan
Indonesia adalah negara dengan hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia, namun juga merupakan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dunia karena kebakaran hutan, degradasi lahan gambut dan penggundulan hutan.

OGAN KOMERING ILIR, Indonesia: Sadriah, ibu rumah tangga, 21, sedang menjaga putranya yang berusia empat bulan pada akhir September lalu ketika tiba-tiba dia melihat kebakaran lahan, kurang dari 100 meter dari rumahnya di desa Tanjung Serang, kabupaten Ogan Komering Ilir, provinsi Sumatra Selatan.
Sadriah panik, langsung menggendong putranya dan bergegas ke rumah temannya di desa sebelah. Sementara suaminya tetap bertahan di desa untuk memadamkan api bersama warga lainnya.
Tiga hari kemudian, Sadriah pulang ke rumah.
"Tapi saat sampai di rumah, masih ada asap, jadi kami tetap tinggal di dalam kamar," kata Sadriah.
"Bayi saya terus menerus batuk," imbuh dia, masih terlihat tertekan ketika berbincang dengan CNA.

Itu adalah kali pertama dalam hidupnya Sadriah melihat kebakaran sangat dekat dengan rumahnya.
Tahun ini kebakaran hutan dan lahan skala besar kembali terjadi di Sumatra Selatan dan sembilan provinsi lainnya di Indonesia. Kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di lahan yang bukan hutan, seperti perkebunan atau tanah yang tidak digarap.
Walau beberapa wilayah di Indonesia selama bertahun-tahun telah berjuang memadamkan kebakaran lahan dan hutan – yang seringkali menyebabkan pencemaran asap lintas batas ke negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia – namun belum ada kebakaran besar dalam empat tahun terakhir.
Tapi sejak awal tahun ini hingga 5 September, sudah ada 3.788 titik api di Indonesia berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Angka ini meningkat empat kali lipat dibanding periode yang sama pada tahun lalu.
Belum ada data resmi terbaru, namun Sumatra Selatan memiliki titik api paling banyak dibanding provinsi Sumatra lainnya pada bulan ini.
Misalnya pada 6 September lalu berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), ada 386 titik api di Sumatra Selatan, sementara hanya delapan di Jambi dan Riau yang memang sering terjadi kebakaran lahan dan hutan.
Fenomena cuaca El Nino yang membuat suhu permukaan laut sekitar khatulistiwa lebih hangat dari rata-rata telah menyebabkan cuaca kering. Kondisi ini membuat titik-titik api diperkirakan akan tetap ada hingga dua bulan ke depan. El Nino terakhir terjadi antara tahun 2018 dan 2019.

KEBAKARAN LAHAN GAMBUT
Indonesia tidak asing dengan kebakaran lahan dan hutan, yang menurut aparat dilakukan dengan sengaja oleh orang-orang yang ingin membersihkan lahan. Sebagian besar lahan yang sengaja dibakar diperuntukkan bagi perkebunan kelapa sawit, mengingat Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia.
Kebakaran juga seringkali diperburuk oleh cuaca kering.
"Di Ogan Komering Ilir, 99 persen kebakaran lahan dan hutan disebabkan oleh manusia," kata Muhamad, kepala pemadam kebakaran Ogan Komering Ilir.
"Cuaca (kering) hanyalah faktor pendukungnya."
Berbincang dengan CNA sambil mengawasi timnya yang tengah memadamkan kebakaran lahan gambut, Muhamad mengatakan ada beberapa cara yang biasa digunakan para pelaku untuk melakukan pembakaran.
Pelaku bisa memicu api dengan membuang puntung rokok ke tanah atau hutan, atau dengan menyalakan obat nyamuk bakar yang baranya bisa terbawa angin dan menyebabkan kebakaran.
Muhamad mengatakan, kebakaran di Ogan Komering Ilir yang dimulai pada Agustus lalu dapat bertahan hingga November akibat cuaca kering karena kurangnya curah hujan dalam beberapa pekan ini.
Karena lahan di kabupaten itu kebanyakan lahan gambut, kata dia, maka sangat sulit untuk memadamkan apinya.

Lahan gambut terdiri dari lapisan-lapisan tumbuhan yang membusuk dan material organik lainnya yang terletak jauh di bawah permukaan tanah. Kondisi ini membuat api dapat terus menyala selama berbulan-bulan jika tidak dipadamkan dengan baik.
Lahan gambut juga menyimpan karbondioksida lebih banyak dibanding semua jenis vegetasi lainnya di seluruh dunia.
Itulah sebabnya, lahan gambut akan mengeluarkan karbondioksida dalam jumlah besar ketika terbakar.Â
Lahan gambut tetap dapat mengeluarkan asap kendati tidak ada api yang terlihat, kata Muhamad.
"Tantangan lainnya adalah akses ke titik api, karena banyak kebakaran terjadi di lokasi terpencil.
"Yang kedua, adalah sulitnya akses mendapatkan air karena biasanya kebakaran terjadi di wilayah kering," ujar Muhamad.
Di Indonesia, enam dari 38 provinsinya dikenal rentan kebakaran lahan dan hutan karena memiliki lahan-lahan gambut, kata Suharyanto, kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada akhir Juli lalu.
Keenam wilayah itu adalah Sumatra Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, lanjut Suharyanto yang ketika itu tengah memimpin rapat soal kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Selatan.

PERALATAN PEMADAM PETANI YANG TIDAK MEMADAI
Di desa Soak Batok yang terletak di kabupaten Ogan Ilir, Romli, petani berusia 55 tahun, sibuk memadamkan kebakaran lahan pada sore yang panas di bulan September menggunakan ransel penyemprot pestisida yang diisinya dengan air.
Sementara istrinya Samsiah, 52, yang juga petani, membantu dengan menarik selang air yang digunakan warga lainnya untuk memadamkan api.
Kebakaran terjadi tepat di seberang lahan perkebunan kelapa sawit milik pasangan suami istri itu. Titik api juga berada hanya beberapa meter dari rumah mereka.
"Saya takut apinya bisa menyambar ke rumah dan lahan kami.
"Saya gemetar ketika melihat api. Suami saya segera menyemprotkan air, jadi saya membantu dia," kata Samsiah.

Warga desa telah memanggil pemadam kebakaran setempat, tapi karena lokasi desa yang jauh, petugas pemadam belum juga datang ketika CNA menyambangi desa itu pada 25 September lalu.
Beruntung, Romli dan Samsiah punya putra yang bekerja di perusahaan dekat dengan desa.

Perusahaan itu langsung mengirim mobil dengan tangki air yang kemudian digunakan warga memadamkan api.
Ini adalah kebakaran lahan kedua di desa mereka pada tahun ini, setelah kebakaran pertama terjadi di awal September.
Warga desa tidak dilengkapi dengan perangkat pemadam api yang memadai.
"Kami juga menggunakan ember air untuk memadamkan api," kata Romli.

MENANGKAP PELAKU PEMBAKARAN
Kebakaran hutan dan lahan terbesar di Indonesia terjadi pada 2015 ketika 2,5 juta hektare lahan terbakar.
Kebakaran 2015 tersebut menghasilkan 15 juta ton karbondioksida per hari, berdasarkan data Bank Dunia. Angka emisi ini hampir dua kali lebih tinggi dibanding emisi harian di Uni Eropa.
Itu adalah emisi karbon terbesar Indonesia sejak kebakaran hutan dan lahan pada 1997. Peristiwa itu merugikan perekonomian Indonesia hingga US$16 miliar atau sekitar Rp247 triliun.
Wakil Direktur Ditreskrimsus Polda Sumsel AKBP Putu Yudha Prawira mengatakan kondisi di Sumatra Selatan tahun ini lebih baik dibanding 2015 saat seluruh provinsi diselimuti kabut asap akibat kebakaran.
Putu juga mengatakan bahwa persiapan mereka tahun ini sudah lebih baik untuk mengatasi kebakaran hutan.

Karena itulah, Putu yakin kebakaran tahun ini tidak akan menyebabkan pencemaran asap lintas batas.
"Kami telah membuat aplikasi (mobile) untuk memonitor titik api ... kami juga telah menurunkan tim ke wilayah-wilayah titik api, terutama di lahan gambut," kata Putu.
Dia juga mengatakan bahwa pelaku kebakaran biasanya adalah petani atau orang-orang yang dibayar perusahaan untuk membuka lahan dengan menyulut api.
Putu menuturkan, saat ini mereka tengah mengatasi 19 kasus kebakaran dan telah menahan 34 pelaku sejak Agustus.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 26 September lalu mengatakan, mereka juga telah menyegel sedikitnya enam lahan milik perusahaan di Sumatra Selatan untuk menyelidiki kebakaran hutan dan lahan.
Indonesia adalah negara dengan wilayah hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia, tapi juga salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia karena kebakaran hutan, degradasi lahan gambut dan penggundulan hutan.
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara, Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai netral karbon pada 2060.
Arie Rompas, ketua tim kampanye hutan di Greenpeace Indonesia, mengatakan pelepasan karbondioksida telah memicu perubahan iklim.
Karena itulah, Indonesia perlu serius mengatasi kebakaran hutan dan lahan.
"Mengambil langkah hukum sangat penting, terutama karena memiliki efek jera.
"Karena berdasarkan data Greenpeace, insiden terus terjadi di lokasi yang sama," kata dia kepada CNA.
Sementara itu di desa Tanjung Serang, Sadriah berharap tidak akan pernah lagi mengalami kebakaran hutan dan lahan.
"Semoga tidak ada lagi kebakaran di tahun-tahun mendatang, dan orang-orang bisa lebih berhati-hati.
"Karena kebakaran tidak muncul dengan sendirinya. Pasti ada ulah tangan manusia."
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris.