Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu
Advertisement
Advertisement

Indonesia

Garuda Indonesia dan Malaysia Airlines tapaki jalan berbeda dalam atasi 'turbulensi' usai pandemi

Garuda Indonesia dan Malaysia Airlines tapaki jalan berbeda dalam atasi 'turbulensi' usai pandemi
Ekor pesawat Malaysia Airlines (kiri) dan Garuda Indonesia, diambil di Jakarta pada 7 Januari 2019. (Foto file: iStock)

JAKARTA/SINGAPURA: Rasa percaya diri dan optimisme terpancar dari diri Irfan Setiaputra ketika berbicara di hadapan anggota DPR pada awal Juni lalu.

Kesan yang muncul terasa berbeda dibanding rapat dengar pendapat sebelumnya pada 2021. Kali ini, para politisi bergantian memuji Garuda Indonesia usai direktur utama maskapai nasional tersebut memaparkan soal pemulihan perusahaan setelah dihantam "turbulensi" dalam beberapa tahun terakhir. 

Ketika itu bermunculan wacana untuk membubarkan - bahkan membuat maskapai baru - untuk menggantikan Garuda Indonesia. Pandemi COVID-19 menyebabkan Garuda kewalahan, dengan angka penumpang yang anjlok hingga 90 persen dan mencatatkan kerugian bersih hampir US$4 miliar (Rp60 triliun), ditambah dengan utang hampir US$10 miliar (Rp150 triliun) kepada para vendor.

Seiring meredanya pandemi dan dilonggarkannya pembatasan aktivitas, Garuda bersama maskapai nasional lainnya di negara-negara tetangga sudah jauh lebih baik. Pada 2022 Garuda mencatatkan laba US$3,9 miliar (Rp57 triliun), tertinggi dalam sejarah 74 tahun berdirinya maskapai tersebut.

Di negara tetangga, Malaysia Airlines (MAB) tahun lalu juga memperoleh laba setelah sebelumnya mengalami kerugian bertubi-tubi. Kondisi MAB berbalik, dengan pendapatan tiga kali lipat lebih besar berkat permintaan yang tinggi dari penumpang internasional.

Dan maskapai terkemuka di kawasan, Singapore Airlines (SIA) mencatatkan pencapaian laba US$1,6 miliar (Rp24 triliun) untuk tahun fiskal 2022-2023 yang berakhir Maret lalu. Ini adalah laba terbesar yang diperoleh SIA setelah 76 tahun beroperasi.

Di saat pengumuman profit melambungkan harga saham SIA mencapai level tertinggi dalam tiga tahun terakhir, dan diganjarnya pegawai dengan bonus delapan bulan gaji, perjalanan Garuda dan MAB diprediksi masih akan beronak duri.

Seiring upaya maskapai berebut bagian dari melonjaknya permintaan perjalanan udara, kemungkinan terjadinya perang harga tiket di era pasca-pandemi akan semakin besar. 

Sementara itu, biaya sewa, operasional dan perawatan pesawat akan membengkak ketika armada yang sebelumnya tidak aktif akan digunakan kembali.

Maskapai nasional Indonesia dan Malaysia menapaki jalannya masing-masing dalam mengarungi badai. Namun para pakar menyerukan agar Garuda bergerak lebih hati-hati. Sementara untuk MAB, mereka justru mendorong untuk terus melancarkan "serangan".

PERSAINGAN GILA-GILAAN

Baik Garuda dan MAB memasuki masa pandemi dalam keadaan yang memang sudah payah.

MAB, yang sejak lama berjuang mengatasi biaya operasional tinggi dan jumlah tenaga kerja yang terlalu banyak, masih berupaya bangkit setelah hilangnya pesawat MH370 dan jatuhnya MH17 yang ditembak di Ukraina, keduanya terjadi di 2014.

Di tahun itu, perusahaan pengelola aset Malaysia, Khazanah Nasional, melakukan privatisasi terhadap perusahaan induk MAB, Malaysia Aviation Group (MAG).

Studi dampak pandemi terhadap sektor aviasi oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan bahwa pada 2019 MAG menempati ranking ke-10 dari 10 besar perusahaan penerbangan Asia tenggara berdasarkan lalu lintas penumpang.

Menurut analis independen Brendan Sobie, di Malaysia ada dua kompetitor utama MAB pada masa pra-COVID-19, yaitu AirAsia Group dan Malindo Air - yang telah berganti nama menjadi Batik Air Malaysia.

"Ini bukan hanya soal jumlah kompetitor di pasar, tapi juga cara mereka melakukan ekspansi," kata Sobie yang merupakan salah satu periset dalam studi ADB di atas.

"Beberapa maskapai cukup agresif ... dengan mematok harga yang murahnya gila-gilaan. Dan ini memicu kerugian bagi seluruh maskapai pada 2019."

Pesawat Malaysia Airlines tiba dengan membawa gelombang pertama wisatawan ke bandara seiring dibukanya kembali Langkawi bagi turis domestik di tengah pandemi COVID-19 di Malaysia pada 16 Sep 2021. (Foto file: REUTERS/Lim Huey Teng)

Ketika pandemi menghantam pada 2020, MAB mulai melakukan restrukturisasi utang sebesar RM16 miliar (Rp51,4 triliun) dengan cara negosiasi ulang dengan perusahaan penyewa, kreditur dan entitas-entitas negara yang telah dituntaskan pada awal Maret tahun berikutnya.

Pengelola dana investasi dan pemilik MAG, Khazanah, juga berkomitmen menyuntikkan dana sebesar RM3,6 miliar (Rp11,5 triliun) untuk mendanai bisnis maskapai tersebut selama masa restrukturisasi dan sampai 2025.

Menurut Khazanah, kembalinya permintaan perjalanan yang tinggi dan kendali biaya yang efektif berhasil membuat MAG membalikkan kerugian RM767 juta (Rp2,4 miliar) pada 2021 menjadi laba RM556 juta (Rp1,7 miliar) di tahun berikutnya.

Para pakar meyakini, dengan merestrukturisasi utang dan kewajiban finansial secara cepat, MAB secara signifikan berhasil mengurangi biaya namun tetap mempertahankan seluruh karyawannya.

"Selama pandemi, kami mengambil posisi yang sulit untuk tidak mengistirahatkan pesawat atau memberhentikan satu pun staf kami," kata direktur pelaksana MAG Kapten Izham Ismail kepada CNA.

"Dan karena posisi inilah, kami bisa dengan cepat meluncurkan kembali layanan ketika perbatasan dibuka lagi pada April 2022."

CEO Malaysia Airlines Izham Ismail. (Foto: MAS)

Izham menambahkan, saat ini MAB telah mencapai 90 persen dari kapasitas penumpang sebelum COVID-19, sisanya diharapkan terpenuhi saat permintaan dari pasar China mulai pulih di akhir 2023.

Maskapai tersebut juga akan menambah kapasitas untuk destinasi yang mengalami lonjakan permintaan, seperti Australia dan Asia Selatan.

"Di antara maskapai Asia Tenggara lainnya, Malaysia Airlines secara mengejutkan menjadi salah satu dari sedikit maskapai nasional yang berhasil mengeksploitasi pasar di masa pasca-COVID, dibanding maskapai lain yang bergerak lebih lambat seperti Garuda dan Thai Airways," kata Shukor Yusof, pendiri lembaga riset Endau Analytics.

"MEMBUKA KOTAK PANDORA MASALAH"

Garuda memasuki pandemi di tengah masalah inefisiensi dan skandal mantan dirutnya Ari Askhara, yang dicopot pada Desember 2019 setelah tertangkap menyelundupkan suku cadang motor Harley Davidson di dalam kiriman pesawat baru.

Di bawah kepemimpinan Askhara, Garuda juga dihukum dan dijatuhi sanksi atas tuduhan penetapan harga tiket (price fixing) dan pemalsuan laporan keuangan.

Dalam rapat dengar pendapat di DPR, dirut Garuda saat ini, Irfan Setiaputra, mengatakan: "Pandemi ini seperti membuka kotak pandora permasalahan Garuda. Cost structure yang tidak fleksibel, sewa pesawat yang tinggi dan mismanagement."

Dirut Garuda Indonesia Irfan Setiaputra di depan pesawat dengan gambar masker di moncongnya. (Foto: Garuda Indonesia)

Untuk menjaga dana terus mengalir, maskapai nasional itu melakukan perampingan besar-besaran, termasuk melakukan pemisahan (spin off) dan menutup sebagian anak perusahaannya.

Jumlah pegawai juga dikurangi dari 7.878 pada 2019 menjadi 4.459 pada 2022. Sementara jumlah armada dipangkas dari 142 menjadi 66 pesawat di tahun yang sama.

Untuk bersaing dengan Lion Group, kompetitor domestik utama Garuda, maskapai tersebut juga menutup lebih dari 100 rute dalam dan luar negeri agar fokus pada rute-rute yang lebih menguntungkan.

Garuda Indonesia juga melakukan restrukturisasi utang pada 2021 dan mengkonversi sebagiannya ke dalam saham dan obligasi.

Tapi Garuda masih dibebani dengan ekuitas negatif - ketika utang lebih banyak dari pada aset - sebesar US$563 juta (Rp8,4 triliun) saat ini, kata pakar penerbangan asal Jakarta Gerry Soejatman.

Di DPR pada 13 Juni lalu, Irfan mengatakan bahwa utang menjadi "pekerjaan rumah terbesar" dari Garuda. Tapi dia mengaku yakin bisa membalikkan keadaan.

"Kalau kita terus ketat dengan cara kita me-manage cost ini, permasalahan masa lalu bisa kita selesaikan," kata dia. 

"Garuda belum pulih sepenuhnya," tutur Gerry. "Jika terus konsisten dengan disiplin pembiayaan saat ini, Garuda bisa selamat. Tapi apakah mereka masih bisa mengembangkan diri setelah keluar dari masalah keuangan? Ini yang belum kita tahu."

JUMLAH PEGAWAI TERLALU BANYAK

Tahun ini, maskapai nasional Indonesia mendapatkan sorotan positif dalam hal kepuasan pelanggan.

Garuda pekan lalu terpilih sebagai maskapai dengan awak kabin terbaik sedunia pada World Airline Awards 2023 yang digelar Skytrax. Sebelumnya pada Januari, Garuda diganjar predikat maskapai paling tepat waktu sedunia oleh lembaga riset aviasi OAG Aviation.

Di sisi lain, MAG mengakui walau awal tahun ini keuangan mereka membaik, namun ada "banyak hal yang perlu ditingkatkan" ihwal kepuasan pelanggan dan ketepatan waktu penerbangan.

Shukor, pengamat aviasi, mengatakan akar masalah ini bisa dilacak ke vendor eksternal MAB. Menurut dia, MAB perlu melakukan perubahan total pada layanan-layanan yang dialihdayakan.

Aspek hiburan di atas pesawat pada rute domestik, misalnya. Menurut Fashran Fauzi, pegawai perusahaan minyak dan gas yang terbang dari Kuala Lumpur ke Kuala Terengganu tiga kali sebulan, aspek tersebut sungguh "mengecewakan sekali".

"Tidak ada bedanya dengan maskapai berbiaya rendah. Dari segi makanan untuk kelas ekonomi, juga tidak memberikan pengalaman terbang yang lebih baik," kata lelaki 38 tahun ini kepada CNA.

Izham, selaku direktur MAG dan juga MAB, mengatakan maskapainya telah memprioritaskan peningkatan pada 10 aspek kunci pengalaman pelanggan, mulai dari proses check-in sampai layanan makanan dan minuman di dalam pesawat.

Pengamat penerbangan Sobie mengatakan, MAB telah mencatat staf-staf mereka yang berkinerja buruk. Shukor menambahkan, MAB seharusnya mampu lebih ramping lagi.

"Malaysia Airlines masih kelebihan pegawai walau telah mengurangi jumlah armadanya karena COVID-19. Artinya, rasio pekerja per pesawat juga meningkat, yang akan berdampak pada laba," kata Shukor.

Namun, memecat "pegawai yang tidak produktif" adalah langkah "yang sensitif secara politis", imbuh Shukor. "Di masa lalu, pemerintah saat itu enggan memecat pegawai dari perusahaan pemerintah, seperti Malaysia Airlines, karena takut mencederai jumlah pemilih pada pemilu."

AWAN MENDUNG MASIH MENGGANTUNG

Di luar berbagai kebijakan internal yang diambil, para pengamat mewanti-wanti akan adanya berbagai tantangan yang menanti maskapai di kawasan dalam beberapa tahun ke depan.

Salah satunya, Sobie mencontohkan, biaya-biaya akan muncul dalam bentuk pembayaran sewa pesawat yang lebih mahal setelah sebelumnya MAB menangguhkan sebagian kewajiban bayar sebagai bagian dari restrukturisasi utang. "Ada masalah-masalah seperti inflasi dan kuatnya dolar AS yang akan memicu peningkatan biaya." 

Maskapai nasional Malaysia ini juga menghadapi persaingan yang kian sengit, termasuk dari dua pendatang baru yaitu SKS Airways dan MYAirline, serta harus berjibaku dengan ambisi ekspansi.

Sobie berkata, rencana pemerintah Malaysia mengembangkan dan membuka kembali Bandara Subang di pinggiran Kuala Lumpur untuk menampung jet berbadan ramping menciptakan lebih banyak persaingan bagi MAB. Akhirnya, MAB terpaksa harus membagi dua operasional mereka di Bandara Internasional KL.  

"Kita akan melihat lagi tekanan untuk membuat harga tiket kembali turun, dan akan ada tiket-tiket murah lagi di Malaysia," kata dia.

Tapi Izham dan Irfan dari Garuda mengaku tidak ambil pusing dalam persaingan dengan maskapai-maskapai berbiaya murah. Keduanya mengatakan, fokus mereka adalah merengkuh pasar premium.

Mereka ingin memasuki pasar yang telah diduduki oleh Singapore Airlines dari negara tetangga. Menurut Sobie, SIA bukanlah rival yang sepadan.

Pakar penerbangan ini mengatakan, setiap maskapai memiliki posisi yang berbeda di pasar, baik Garuda maupun MAB seharusnya sadar diri bahwa mereka bukanlah saingan SIA.

Dia mengatakan bahwa SIA adalah maskapai yang "seluruhnya internasional". Sementara maskapai nasional Indonesia dan Malaysia adalah "pemain regional yang lebih kecil" yang telah memarkirkan hampir seluruh pesawat rute operasional jarak jauh mereka dan melayani pasar domestik.

Pesawat Airbus A330-300 Garuda Indonesia bersiap mendarat di bandara Soekarno-Hatta pada 11 Desember 2014. (Foto file: Reuters/Beawiharta)

Pada 2019, SIA mengajukan permohonan kemitraan dengan MAB untuk bagi hasil pada penerbangan antara Singapura dan Malaysia, dan untuk memperluas rute-rute codeshare penerbangan regional dan jarak jauh.

Garuda baru-baru ini juga meneken perjanjian kerja sama dengan SIA untuk koordinasi tarif dan jadwal penerbangan. Kedua rencana tersebut masih menunggu disahkan secara resmi.

Sobie mengatakan kerja sama itu telah menguntungkan semua pihak: MAB dan Garuda diuntungkan dengan jaringan luas SIA, sementara SIA dapat menjadikan Indonesia dan Malaysia - dua negara terdekat - sebagai "perluasan pasar dalam negeri".

DIBAYANGI POLITIK

Seharusnya Garuda tidak usah terlalu memikirkan untuk membuka kembali lebih banyak rute, kata pengamat aviasi Gerry Soejatman yang menyerukan para petinggi maskapai itu untuk bijaksana dalam pengeluaran.

"Mereka harus fokus pada arus kas yang positif, karena itu adalah mesin mereka untuk mendapat laba. Dengan arus kas positif, berarti setidaknya bisnis masih berjalan," kata dia.

"Saya berharap mereka akan terus menjadi lebih lincah, lebih reaktif terhadap perubahan, (lebih mampu) mengantisipasi apa yang akan terjadi nanti - dibanding seperti sebelum pandemi."

Dirut Garuda Irfan mengatakan maskapainya berharap dapat meningkatkan jumlah penerbangan sampai 40 persen setiap tahunnya, dan fokus menambah frekuensi pada rute-rute menguntungkan.

"Kami masih perlu menyisihkan 60-70 persen keuntungan untuk membayar utang kepada kreditur," kata dia.

Chappy Hakim, penasihat di Indonesia National Air Carrier Association (INACA), mengatakan masih banyak ruang untuk berkembang di masa depan.

"Indonesia terletak sangat strategis di antara dua benua (Australia dan Asia), populasinya besar, wilayahnya juga luas, punya ribuan pulau," kata dia kepada CNA.

Tapi Chappy memperingatkan bahwa Indonesia akan memasuki pemilu presiden dan kepala daerah secara serentak tahun depan. Garuda sebagai perusahaan milik negara, kata dia, harus berhadapan dengan intervensi politik dan pemerintah, yang di masa lalu bisa mempengaruhi pendapatan.

"Ada maskapai nasional, maskapai premium, yang mendarat di salah satu provinsi atau kota adalah sebuah kebanggaan besar bagi para pemimpin daerah," kata dia. "Garuda harus bijak memilih, karena mereka akan dibanjiri oleh permintaan atau bahkan perintah dari orang-orang tertentu yang punya agenda politik jangka pendek."

MAMPU MENGHADAPI BADAI

Para pakar mengatakan maskapai Indonesia harus mengambil strategi yang terukur dan hati-hati. Sebaliknya, maskapai Malaysia diserukan untuk mengambil langkah maju yang cepat.

Sobie berkata bahwa MAB belum menggunakan sebagian besar suntikan dana dari pemerintah untuk restrukturisasi, karena mereka untung lebih cepat dibanding perkiraan sebelumnya.

Artinya, lanjut Sobie, MAB punya modal untuk melakukan investasi yang diperlukan guna meningkatkan layanan pelanggan dan memperbarui serta meningkatkan armadanya.

Rencananya pada kuartal ketiga 2023, MAB akan menerima empat pesawat Boeing MAX 8 pertama dari 25 unit yang dipesan sebagai bagian dari pembaruan armada jet berbadan ramping mereka.

"Jika merugi lagi pada 2024 dan seterusnya karena kondisi pasar atau sesuatu yang di luar kendali, mereka masih mampu bertahan," kata Sobie. "Pada akhirnya, saya merasa posisi keuangan mereka cukup kuat untuk menghadapi badai."

Namun dia memperingatkan bahwa para pemangku kepentingan akan kecewa jika MAG kembali rugi berkepanjangan, dan kembali memicu berbagai pertanyaan untuk MAB.

"Pemerintah harus bersiap untuk menyokong mereka di saat-saat seperti itu," kata Sobie. "Namun, berulang-ulang kali, pemerintah selalu memutuskan bahwa Malaysia perlu punya maskapai nasional. Jika dibutuhkan, mereka selalu membantu dan menyuntikkan modal untuk maskapai."

Meski direktur MAG Izham menyadari akan "adanya persaingan ketat dan lingkungan makroekonomi yang menantang", namun dia mengatakan bahwa maskapainya ada di "posisi yang bagus" untuk melakukan investasi-investasi penting yang sebelumnya tidak bisa mereka lakukan.

Di antara strategi penting yang akan didorong, kata Izham, adalah mempertahankan disiplin keuangan dan meningkatkan pengalaman pelanggan untuk memenuhi permintaan pasar yang terus berubah.

Shukor dari Endau Analytics juga meyakini bahwa MAB perlu lebih agresif, terutama dalam menghadapi kompetitor di dalam negeri.

Dia mengatakan "Ada banyak yang bisa dilakukan" di tujuan wisata favorit Sarawak dan Sabah, dua negara bagian Malaysia Timur di pulau Kalimantan. Misalnya, MAB bisa menjelajahi "peluang yang masih belum tergarap" dengan memperluas jaringan di luar jangkauan anak perusahaannya MASwings. 

Yang terpenting, MAB dapat menjadi maskapai yang lebih baik dengan "menerapkan kedisiplinan ketat, gigih dan yang terutama, lebih cerdas dalam negosiasi bisnis", kata Shukor. "Tentu saja, ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan." 

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.

Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai redupnya pesona observatorium tertua di Indonesia.

Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.

Source: CNA/da(ih)
Advertisement

Also worth reading

Advertisement