Asia Tenggara di tengah pusaran krisis sampah plastik dunia
Dipayungi PBB, Komite Perundingan Antarpemerintah untuk Polusi Plastik berkumpul di Paris guna menyusun perjanjian yang mengikat terkait tata kelola polusi plastik.

BANGKOK: Satu aliran kotor berkelok tanpa henti susuri tepian komunitas kecil bernama Koh Klang di pusat kota Bangkok.
Pulau ini menjorok ke kanal yang luas dan membelah kota sebelum bermuara di Chao Phraya, sungai utama Thailand.
Botol, kantong, sedotan, dan sampah plastik lainnya mengambang melintas, terus-menerus, mengindikasikan betapa banyak yang mengotori lingkungan hingga cemari berbagai saluran air kota.
Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan dengan pencemaran plastik tertinggi di dunia. Untuk polusi plastik di sungai, India, Malaysia, dan Filipina menempati posisi tertinggi di dunia, ungkap LSM Belanda, The Ocean Cleanup, dalam satu laporannya pada tahun 2021.
Di Thailand, keadaannya pun terus memburuk sejak pandemi COVID-19, ketika momentum pengurangan pemakaian plastik dikalahkan isu kesehatan dan kenyamanan masyarakat.
Menurut Departemen Pengendalian Polusi Thailand, dari 2,76 juta ton sampah plastik yang dihasilkan negara tersebut tahun lalu hanya 18 persen yang didaur ulang. Sementara itu, sekitar 76 persen berakhir di tempat pembuangan akhir, dan kira-kira 80.000 ton diduga mencemari lingkungan.Â

Pada tahun 2021, buangan plastik yang dapat didaur ulang terhitung kurang dari separuh jumlah pada tahun 2019. Dalam periode tersebut, jumlah plastik nondaur ulang meningkat lebih dari 30 persen.
Penelitian terus dilakukan di Thailand untuk memahami risiko dari keberadaan mikroplastik atau butiran halus plastik di lingkungan. Para ahli sepakat dampaknya mengkhawatirkan bagi keanekaragaman hayati laut dan kesehatan manusia.
"(Mikroplastik) ada di mana-mana," ujar Sujitra Vassanadumrongdee, peneliti senior bidang sampah plastik di Universitas Chulalongkorn. Ia menjabarkan, mikroplastik terdapat pada garam laut, air tawar, air minum, hingga endapan industri.
Menanggapi krisis global yang terus meningkat, para pemimpin dunia mengadakan pertemuan pada akhir Mei hingga awal Juni lalu di Paris demi mengupayakan perjanjian mengikat terkait tata kelola limbah plastik.
Serupa halnya dengan rangkaian negosiasi terkait perubahan iklim, berbagai negara memiliki perbedaan pendapat, menyulitkan tercapainya konsensus.

NEGOSIASI SENGIT DI PARIS
Tahun lalu, terdapat komitmen untuk menghasilkan satu perjanjian yang mengikat secara hukum pada tahun 2024, sehingga rangkaian diskusi serius di Paris beberapa waktu lalu diharapkan akan mengerucut pada suatu rancangan naskah.Â
"Jelas bahwa skala masalah ini mengharuskan adanya perjanjian," kata Dimitris Faloutsos, kepala Perairan Lintas Batas di Global Water Partnership (GWP), jaringan global yang terdiri dari berbagai lembaga pemerintah, akademisi, perusahaan, dan LSM.
Tepat atau tidaknya pilihan untuk meminimalkan produksi plastik di masa mendatang masih diperdebatkan. Negara-negara yang paling terdampak limbah plastik dan yang paling banyak memproduksinya pun terus bersilang pendapat.
Sebagai kontributor polusi skala besar dengan kepentingan signifikan pada minyak dan gas yang turut digunakan dalam pembuatan plastik, negara-negara seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Arab Saudi menentang keras pembatasan maupun pelarangan produksi plastik. Prioritas mereka terletak pada upaya pembersihan limbah yang ada.
Thailand tak jauh beda. Dalam delegasi negara tersebut ke Paris, terdapat perwakilan dari industri petrokimia, sementara kelompok akademisi dan LSM tidak diikutsertakan. Menurut pakar plastik Sujitra Vassanadumrongdee, hal ini menunjukkan masih kuatnya pengaruh produsen plastik untuk dapat mendikte fokus kebijakan-kebijakan terkait.
"Pemerintah Thailand saat ini lebih fokus pada pengelolaan dan daur ulang sampah, padahal itu tidak bisa menyelesaikan masalah sampah plastik secara berkelanjutan," ujarnya.
"Saya suka sekali istilah 'meringankan' (beban) plastik dan menutup keran (produksinya). Namun saat ini pemerintah dan para pemangku kepentingan di Thailand hanya fokus pada solusi-solusi tingkat hilir."Â

MENUTUP KERAN PRODUKSI PLASTIK
Sebelum pertemuan di Paris diadakan, PBB bulan lalu merilis laporan konklusif berisi langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengurangi polusi plastik.
Laporan tersebut mengusulkan perubahan sistemik, di antaranya memperkenalkan ekonomi sirkular yang nyata dengan pengadaan standar keamanan untuk pembuangan sampah nondaur ulang, serta menjadikan produsen bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari mikroplastik yang dihasilkan oleh produk mereka.
Laporan ini menyerukan suntikan dana besar bagi aneka fasilitas produksi baru, menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki pencaharian pekerja informal.
Tercantum pula desakan agar para pemerintah menghapus subsidi bahan bakar fosil, meningkatkan kecondongan terhadap barang-barang yang dapat didaur ulang ketimbang plastik murni, menggalakkan opsi pakai ulang (reuse), dan menyediakan material alternatif untuk plastik pembungkus, saset, kemasan takeaway, dan produk-produk mudarat serupa.
Menurut Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), lebih dari dua pertiga plastik yang dikonsumsi di seluruh dunia adalah produk yang lekas dibuang menjadi sampah. Kecenderungan tersebut tidak menurun – produksi plastik semacam itu secara global dapat meningkat tiga kali lipat pada 2060 mengikuti skenario business-as-usual.

Menurut laporan PBB yang tadi disebutkan, dengan transformasi besar-besaran sekalipun, sekitar 100 juta ton plastik sekali pakai atau yang lekas dibuang masih perlu ditangani setiap tahunnya hingga 2040.Â
Mematikan "keran plastik," sebagaimana diistilahkan oleh PBB, bisa menjadi salah satu aspek negosiasi yang paling menantang, sekaligus yang paling penting, menurut Faloutsos.
"Tidak diragukan lagi, perjanjian ini akan menyajikan koordinasi yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi sampah plastik. Hal-hal seperti penetapan target dan jadwal pengurangan volume produksi plastik termasuk dalam poinnya," kata Faloutsos.
"Semoga (perjanjian ini) juga dapat membantu menghadirkan keadilan demi solusi-solusi yang lebih sirkular dan mengupas insentif ekonomi yang selama ini mendorong produksi plastik," ujarnya.
"Tapi semua itu tidak cukup jika tidak ada tindakan di ranah pengurangan produksi plastik, pelarangan dan substitusi plastik sekali pakai dengan produk yang tidak berbahaya bagi ekosistem dan manusia," tambahnya.
Belum lama ini, GWP dan Chatham House memperingatkan lewat satu makalah bahwa mekanisme perjanjian tersebut bukanlah solusi "sapu jagad"; diperlukan serangkaian kebijakan hulu hingga hilir berikut data yang lebih baik serta investasi di bidang infrastruktur.
Menurut makalah tersebut, ada beberapa model yang layak diikuti, seperti yang diterapkan di Jepang, Uni Eropa, dan Chili, di mana pendekatan holistik seperti menetapkan target untuk menghilangkan plastik sekali pakai – bukan kegiatan pembersihan semata – telah memberikan hasil positif.

SUNGAI-SUNGAI DI ASIA DALAM SOROTAN
Meski para ahli sepakat bahwa upaya memperlambat laju produksi plastik perlu diprioritaskan, ada pula yang berkeras bahwa plastik yang sudah mencemari alam perlu segera ditangani.
Membersihkan bumi dari polusi plastik merupakan inti misi The Ocean Cleanup. LSM Belanda ini mengusulkan pengadaan teknologi untuk mencegat dan mengangkat 90 persen plastik yang mengambang di lautan.
Misi berani dan ambisius tersebut telah mengarahkan organisasi ini ke salah satu sumber utama sampah plastik di lautan, yakni sungai-sungai di Asia.Â
Organisasi ini tengah mengupayakan pengadaan "perangkat mirip pesawat luar angkasa" di Indonesia, Vietnam, Malaysia, dan Thailand, menjadikan saluran-saluran air yang paling dikotori sampah plastik di kawasan ini sebagai target.
"Sungai-sungai paling tercemar ada di Asia. Jadi di situlah perhatian kami tertuju," ujar Steven Paalman, direktur program Asia Rivers for The Ocean Cleanup.
"Kami akan meluncurkan beberapa proyek di seluruh kawasan ini untuk uji coba. Dapatkah kita benar-benar membawa perubahan di sini? Nah, sepertinya jawabannya iya," katanya. Dinamai Interceptor, alat-alat pencegat otonom bertenaga surya ini beroperasi seperti katamaran, menarik sampah plastik di sekitarnya ke ban berjalan menuju area penyimpanan seluas 50 meter kubik.

Karena tiap sungai berbeda, pengujian ekstensif dan pengiriman harus dilakukan sebelum alat-alat pencegat ini beroperasi secara resmi, jelas Paalman. Sungai Chao Phraya di Bangkok, misalnya, padat lalu lintas air dan sangat lebar, sehingga diperlukan perencanaan yang saksama.
Interceptor telah beroperasi di Sungai Klang di Malaysia dan di Kota Can Tho di Delta Mekong. The Ocean Cleanup menyatakan bahwa alat-alat pencegat ini selanjutnya akan ada di Sungai Cisadane di Indonesia dan Sungai Chao Phraya pada 2023.
"Saya kira dengan membersihkan apa yang sudah ada atau apa-apa yang nantinya ada, harapannya kami dapat memberikan insentif atau menunjukkan bahwa ini praktik yang baik demi awal mula pengelolaan sampah yang lebih bagus di negara-negara tersebut," ujar Paalman.
"Bisa jadi begini terus sampai pensiun, dan saya sadar itu. Tapi sampah kan memang ada, jadi harus ada yang memungutnya. Saya pun menyebut diri saya tukang sampah.
"Kami memang sedang menunggu. Idealnya bisa ada penerapan manajemen sampah yang lebih baik di seluruh wilayah ini," ujarnya.
Sementara itu, komunitas di Koh Klang telah aktif berperan, betapa pun kecilnya, untuk mengatasi masalah plastik pada skala lokal. Tiap keluarga didorong untuk memilah sampah dan mengumpulkan plastik di sekitar pulau.
Hal tersebut bukannya tanpa dorongan finansial. Banyak produk plastik yang dapat dijual. Mereka juga melakukan upcycle, mengubah tutup botol minuman menjadi produk bermanfaat – vas bunga, misalnya – menggunakan mesin khusus yang mengubah plastik menjadi adonan khusus.

Phongsri Sonkhum cakap dalam mengoperasikan mesin tersebut – inisiatif dari LSM lokal Precious Plastic dan kelompok-kelompok perusahaan lainnya.
Wanita berusia 55 tahun ini ingat masa ketika pencemaran plastik di komunitasnya jauh lebih buruk. Tanpa aturan lebih ketat sekalipun, masyarakat yang diberdayakan dapat hadirkan perubahan.
"Kami kan komunitas yang tinggal di kanal ini, jadi kami merasa kena dampak langsungnya. Dulu sekali, ketika saya pertama kali pindah ke sini, saya bahkan tidak bisa melihat aliran air karena dipenuhi sampah dan plastik," katanya.
"Masalah plastik datang dari manusia. Kita beli barang di pasar dan semuanya pakai kantong plastik. Setiap komunitas menghadapi masalah ini, saya yakin bukan cuma di sini.”
Phongsri mengatakan bahwa inisiatif untuk mengatasi polusi plastik di komunitasnya telah memberikan "dampak positif" pada lingkungan.Â
"Makin banyak orang yang memilah sampah dan mengumpulkan plastik untuk dijual. Orang juga lihat yang kami lakukan dan komunitas-komunitas lain mengunjungi kami untuk mempelajari apakah mereka bisa meniru cara ini," jelasnya.Â
"Saya merasa ada kebanggaan dan prestasi dari melakukan ini."
Laporan tambahan oleh Jarupat Buranastidporn.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris. Â
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini tentang cat pelapis anti panas peraih penghargaan yang membuat rumah-rumah di Indonesia tidak perlu AC lagi.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.