Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu
Advertisement
Advertisement

Indonesia

Tren doom spending ramai di media sosial, salah kaprah dianggap sebagai self-care

Semakin banyak perempuan Gen Z dan milenial melakukan doom spending, upaya menenangkan diri di tengah situasi global yang serba tidak pasti. 

Tren doom spending ramai di media sosial, salah kaprah dianggap sebagai self-care
Ekonomi, pemanasan global, serta kerusuhan politik dan sosial yang terus terjadi di seluruh dunia menjadi dalih para perempuan muda untuk membeli "kemewahan kecil", seperti tas Chanel. (Photo: Loveholic)

BOSTON: Tolong, jangan coba-coba melakukan doom spending.

Istilah yang pertama kali muncul di media sosial ini semakin populer saja, dan diikuti oleh banyak orang. Jika tahun 2023, tren belanja yang muncul adalah "girl math", maka di tahun ini, kemungkinan besar "doom spending" akan makin marak dilakukan. Jika kedua tren ini dibandingkan, doom spending akan sangat berbahaya bagi kehidupan finansial, terutama perempuan. 

Memangnya, apa arti doom spending yang kian marak ini?

Doom spending adalah "membelanjakan uang untuk mengatasi stres di tengah kekhawatiran atas kondisi ekonomi yang tidak pasti dan kondisi hubungan internasional yang tidak stabil," menurut perusahaan pelacak kredit, Credit Karma, anak perusahaan Intuit. 

Berbeda dengan retail therapy, yang merupakan tren berbelanja untuk meringankan stres karena masalah pribadi seperti putus cinta dan lain sebagainya, doom spending menyangkut kekhawatiran tentang kondisi ekonomi dan stabilitas global. 

Menurut survei Credit Karma, sekitar 27 persen warga Amerika Serikat mengaku telah melakukan doom spending. Tren ini lebih banyak dilakukan oleh laki-laki, yakni sebanyak lebih 33 persen responden, dibandingkan dengan perempuan, yakni hanya sebesar 21 persen responden. 

Doom spending berbeda pula dengan girl math. Tren girl math, atau matematika perempuan, biasanya digunakan untuk menjadi dalih pembelian tertentu yang sebenarnya bisa jadi masuk akal. 

Misalnya saja, pembelian besar dibagi dengan jumlah berapa kali barang tersebut akan dipakai, atau berapa lama barang tersebut akan bertahan. Hal itu bisa menjadi justifikasi besarnya harga barang tersebut di awal pembelian, tapi kamu tidak perlu membeli barang serupa dalam waktu yang lama. 

Perempuan biasanya lebih sulit mencapai kemandirian finansial. (Photo: iStock/MTStock Studio 1)

KEMEWAHAN KECIL

Namun, saya lebih khawatir tren ini akan berpengaruh besar terhadap para perempuan. Pasalnya, dibandingkan laki-laki, para perempuan memiliki tingkat kemandirian finansial yang lebih rendah. Perempuan juga memiliki penghasilan, tabungan dan investasi yang lebih sedikit. 

Survei ini juga menemukan bahwa perempuan muda lebih cenderung melakukan pemborosan dibandingkan ibu dan kakak perempuan mereka. Federal Reserve New York, AS, pada Selasa (6/2) mencatat bahwa peningkatan tunggakan kartu kredit dan kredit kendaraan bermotor terjadi terutama di kalangan peminjam usia muda. 

"Perekonomian payah, ada pemanasan global, ada kerusuhan politik dan sosial yang terus-menerus secara global," kata seorang perempuan berusia 24 tahun kepada Bloomberg News, memberikan dalih atas "kemewahan kecil" yang telah dilakukannya, yakni membeli tas Chanel antik seharga US$2.500, atau sekitar Rp39 juta. 

"Lebih mudah membelanjakan uang untuk hal-hal yang dapat memberikan kepuasan langsung," lanjutnya, terutama ketika menabung tampaknya kini sia-sia dan tidak akan membuatmu dapat membeli kebutuhan utama dalam hidup, seperti rumah. 

Perempuan biasanya lebih sulit mencapai kemandirian finansial. (Photo: iStock/MTStock Studio)

BELANJA BARANG MEWAH DEMI GENGSI

Sistem ekonomi berkembang dengan dengan memicu ketakutan bahwa kita akan tertinggal jika tidak membeli barang baru.

"Kerentanan kita terhadap simbol status berasal dari kebutuhan mendalam untuk diterima, tetapi juga merupakan cara untuk melindungi diri kita sendiri," tulis profesor psikologi Bruce Hood dalam buku Possessed: Why We Want More Than We Need. 

Membeli barang-barang mewah dapat mengubah cara orang memandang kita atau, yang tak kalah penting, cara kita memandang diri kita sendiri.

Dalam bukunya, Hood menjelaskan bahwa ketika uang yang kita miliki tidaklah seberapa atau kondisi global sedang kacau, kita cenderung berfokus pada apa yang bisa kita kendalikan, termasuk di antaranya membeli barang mewah yang bisa meningkatkan status kita di masyarakat.

Apalagi, hal ini didukung fakta bahwa harga kebutuhan utama, seperti rumah, kian tidak terjangkau. 

Barang mewah kian menarik pembeli karena dari sisi psikologis, manusia akan selalu membandingkan diri kita dengan orang lain. 

Sementara itu, khususnya di antara para perempuan, membeli barang mewah selalu diasumsikan sebagai upaya memanjakan diri, kemandirian, atau sebuah kelayakan karena sudah bekerja keras. 

Sisi psikologis semacam ini tentu saja sudah diketahui oleh tim pemasaran merek-merek terkemuka. Ambil saja contoh merek cat rambut terkenal, L’Oreal yang memiliki slogan, "Karena kamu begitu berharga". 

Doom spending juga memiliki pesan serupa, bahwa uang yang kita miliki tidak akan cukup  untuk mendapatkan kebutuhan utama. Sehingga, tidak ada bedanya jika uang itu dibelanjakan hari ini untuk kesenangan sesaat. 

Perempuan biasanya lebih sulit mencapai kemandirian finansial. (Photo: iStock/MTStock Studio)

Namun, para perempuan muda harus bisa menolak sinisme semacam itu.

Menurut laporan dari Financial Health Network tahun 2022, sebanyak 44 persen perempuan berusia 18 hingga 29 tahun, mengaku mereka menunda pencapaian penting dalam hidup mereka, seperti menikah, memiliki rumah, dan memiliki anak. Perempuan juga kurang dapat mengelola utang. Jumlah ini lebih tinggi dibanding dengan 34 persen responden pria yang melakukan hal ini. 

Terlilit hutang untuk membeli barang mewah tentu bukanlah keputusan yang cerdas, apalagi memberdayakan. Self-care, atau perawatan diri, seharusnya didapat dari upaya kita berbelanja di dalam batas kemampuan. 

Meskipun formula klasik dalam menyusun anggaran — yakni 50 persen penghasilan untuk memenuhi kebutuhan, 30 persen untuk keinginan dan 20 persen untuk menabung atau membayar hutang — kini mungkin sulit untuk dijalankan, tapi bukan berarti kita melupakan semua itu dan secara impulsif membeli tas Chanel seharga puluhan juta rupiah. 

Seharusnya, sedikit apa pun, usahakan tetap menabung, meskipun hanya 10 atau bahkan 5 persen dari penghasilan. 

Source: Bloomberg/ps(ih)
Advertisement

Also worth reading

Advertisement