Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu
Advertisement
Advertisement

Indonesia

Bagaimana perang Israel-Hamas bayang-bayangi perundingan iklim PBB

Negara-negara harus meningkatkan kerja sama untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim. Tapi konflik dan krisis kemanusiaan di Gaza menambah rasa saling tidak percaya jelang COP28, dan membuat negara peserta penting tidak menghadirinya.

Bagaimana perang Israel-Hamas bayang-bayangi perundingan iklim PBB
Pemandangan bangunan yang hancur di Gaza terlihat dari Israel selatan, di tengah konflik antara Israel dan Hamas, pada 22 November 2023. (Foto file: Reuters/Alexander Ermochenko)

BANGKOK: Perundingan antarnegara di Dubai sejak 30 November lalu untuk mendorong aksi iklim yang lebih besar hingga akhir dekade ini dibayang-bayangi perang Israel-Hamas.    

Konflik bersenjata itu menambah rasa saling tidak percaya dan ketegangan di saat kerja sama global untuk perubahan iklim kian mendesak, ujar para pengamat menjelang Konferensi Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim yang ke-28 (COP28).

Menurut para ilmuwan, pemanasan global harus dijaga tetap berada di bawah 2 derajat Celcius untuk menghindari dampaknya yang mematikan. Tapi berdasarkan Laporan Kesenjangan Emisi PBB yang dirilis 20 November lalu, komitmen negara-negara yang ada akan menyebabkan kenaikan suhu hingga 2,9 derajat Celcius di akhir abad ini.

COP28 akan menjadi "ujian mendasar apakah negara-negara dapat membentengi diplomasi iklim dari krisis yang segera terjadi," ujar Ulrich Eberle, direktur proyek Iklim, Lingkungan dan Konflik di International Crisis Group, sebuah lembaga nirlaba yang berkomitmen mencegah dan menyelesaikan konflik mematikan.

BAGAIMANA PERANG ISRAEL-HAMAS DAPAT MEMENGARUHI COP28? 

Agenda utama COP28 akan menjadi agenda pertama Global Stocktake, sebuah tinjauan terhadap tindakan kolektif yang telah dilakukan sejak penandatanganan Perjanjian Paris pada 2015. Ini adalah bentuk inventarisasi untuk mendorong negara-negara dalam meningkatkan ambisi iklim mereka.

PBB menggambarkan Global Stocktake sebagai "momen untuk melihat kembali kondisi planet kita dan memetakan arah yang lebih baik untuk masa depan". PBB ingin negara-negara memenuhi janji mereka dan mempercepat ambisi mereka untuk beberapa dekade mendatang.

Namun bagi banyak negara, memenuhi aksi iklim yang mereka janjikan sangat bergantung pada sumber pendanaan internasional. Untuk mewujudkannya, diperlukan kerja sama yang lebih erat dan kepercayaan yang lebih tinggi.

Pertempuran di Gaza telah menambah kerumitan dan gangguan di saat-saat yang kritis, merenggangkan hubungan di antara para negara-negara mitra yang kini saling curiga.

"Perubahan iklim adalah masalah dunia yang membutuhkan kolaborasi global. Pertempuran di Gaza telah menambah ketegangan yang berisiko melemahkan kapasitas untuk mencapai konsensus," ujar Eberle.

Meski perang di Gaza terjadi lebih dari 2.000km dari Uni Emirat Arab (UEA), namun dampak dari konflik tersebut telah menyebar ke seluruh kawasan, meningkatkan ketegangan politik, menguji hubungan diplomatik, dan menimbulkan ketidakpastian di pasar energi.

"Defisit kepercayaan antara AS dan negara-negara Global Selatan sangat tajam sekarang. Hal ini berpotensi merusak hubungan Utara-Selatan dalam berbagai isu, dan dapat mengganggu pembicaraan di COP," ujarnya.

Konflik ini akan mempersulit negara-negara dalam membangun percakapan yang konstruktif untuk isu-isu yang tengah diperdebatkan, seperti pembentukan dana ganti rugi dan kerusakan, mengurangi ketergantungan global pada bahan bakar fosil dan mengurangi emisi metana.

Perang di Gaza dapat membuat hilangnya pendanaan yang dibutuhkan untuk memerangi perubahan iklim dan dukungan dari negara-negara maju, bahkan membuat negara peserta penting tidak mengikuti forum. Presiden Amerika Serikat Joe Biden tidak menghadiri COP28, media New York Times yang mengutip sumber di Gedung Putih mengatakan perang di Gaza telah menyibukkannya.

Konflik di Gaza juga terjadi bersamaan dengan perang Rusia-Ukraina yang memuncak pada Februari tahun lalu setelah Rusia melakukan invasi ke negara tetangganya itu. Perang ini membuat AS, Jerman dan Inggris berkomitmen memberikan miliaran dolar dalam bentuk perangkat militer dan bantuan lainnya ke Ukraina.

"Aksi untuk iklim dan masalah penting lainnya yang dianggap kurang mendesak akan terus terabaikan karena perhatian tertuju pada hal lain yang dianggap lebih prioritas," kata Eberle.

DAPATKAH UEA SEBAGAI TUAN RUMAH MENJAGA STABILITAS?

UEA memegang kursi kepresidenan COP selama satu tahun, sebuah periode di mana UEA dapat memengaruhi sifat dan hasil negosiasi iklim.

Presiden COP adalah Sultan Al-Jaber, yang saat ini masih menjabat sebagai kepala perusahaan minyak nasional UEA, ADNOC, sehingga memicu kritikan dari aktivis iklim dan organisasi pecinta lingkungan.

Meski UEA menyadari perlunya beralih ke sumber energi yang lebih bersih, namun mereka masih menjalankan rencana meningkatkan produksi minyak dan gasnya secara signifikan dalam dekade ini.

UEA juga telah memposisikan dirinya sebagai perantara politik dalam beberapa tahun terakhir, salah satunya membuat langkah maju dalam membangun hubungan kerja sama dengan Israel. UEA merupakan negara Teluk pertama yang menormalisasi hubungan dengan Israel, mematahkan tabu yang sudah berlangsung lama untuk bekerja sama dengan Yerusalem, terlepas dari perdebatan tentang kenegaraan Palestina.

Walau tengah terjadi perang dan kemarahan yang meluas di antara penduduk Arab, UEA berjanji mempertahankan hubungan diplomatiknya dengan Israel.

"UEA berusaha menjadi penyeimbang dengan menyatukan negara-negara di Dubai dan di saat bersamaan bertindak sebagai pendukung Palestina di Dewan Keamanan (PBB). Negara-negara Emirat, AS dan kekuatan-kekuatan lainnya kemungkinan besar ingin mengindari perang yang memengaruhi diplomasi iklim," kata Eberle.

Dubai, tempat gedung tertinggi di dunia, Burj Khalifa, berada, akan menjadi tuan rumah bagi perundingan COP28 PBB. (Foto file: AFP/Giuseppe Cacace)

APAKAH INFLASI TETAP DAPAT TERKENDALI? 

Masih ada kekhawatiran konflik akan menyebar hingga ke luar zona pertempuran di Gaza, menimbulkan gejolak di kawasan yang kaya akan minyak itu.

Negara-negara di Timur Tengah memiliki hampir setengah dari total cadangan minyak dunia dan menjadi pusat negosiasi transisi energi bersih dari bahan bakar fosil.

Biasanya, harga minyak akan naik jika terjadi konflik di Timur Tengah lantaran ketakutan akan kurangnya pasokan. Bank Dunia telah memperingatkan harga minyak bisa naik hingga 75 persen jika terjadi eskalasi perang yang besar.

Melihat bagaimana inflasi memengaruhi dunia dalam setahun terakhir, peristiwa seperti itu akan menyebabkan guncangan pasar yang besar dengan dampak ekonomi yang luas.

Kondisi ini akan memperburuk gangguan pada rantai pasokan yang memang sudah terdampak perang di Ukraina. Dan jika tingkat suku bunga naik lebih tinggi, mencari pendanaan  untuk proyek-proyek energi terbarukan akan semakin sulit.

Sejak pecahnya perang Israel-Hamas, harga minyak tetap stabil. Untuk mencegah lonjakan harga, AS telah meningkatkan produksi untuk memasok Uni Eropa yang sebelumnya kekurangan pasokan dari Rusia.

Langkah-langkah tersebut tidak menjamin harga akan terus terjaga.

"Ketika konflik ini meluas, kegelisahan dapat meningkat," kata Putra Adhiguna, Asia Technology Lead di lembaga riset Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).

"Para importir bahan bakar fosil besar kemungkinan akan gelisah dalam mengantisipasi pasar energi yang bergejolak."

UEA, salah satu produsen minyak mentah terbesar di dunia, berpendapat bahwa minyak tetap sangat diperlukan untuk ekonomi global dan mendorong penangkapan karbon - yaitu menghilangkan karbon dioksida, gas utama penyebab efek rumah kaca, yang tercipta pembakaran bahan bakar atau yang terkandung di udara (Foto: AFP/File/GIUSEPPE CACACE)

APAKAH PERANG BISA MEMENGARUHI PERDEBATAN SOAL ENERGI TERBARUKAN? 

Kekhawatiran akan dampak pasar akibat konflik ini dapat muncul di COP28 dengan cara yang berbeda. 

Konflik dapat memberikan momentum untuk mendorong meluasnya instalasi dan adopsi sumber energi bersih.

Baik AS dan China telah menjanjikan peningkatan energi terbarukan, menjadikannya titik negosiasi dalam konvensi di Dubai.

"Dalam waktu dekat, semua negara selalu ingin mengamankan pasokan bahan bakar mereka, tetapi dalam perspektif jangka panjang, gejolak baru-baru ini mengingatkan kita - sekali lagi - akan rapuhnya rantai pasokan bahan bakar fosil," kata Putra.

Tapi konflik ini juga dapat mendorong negara-negara penghasil minyak untuk bersikeras mempertahankan sumber-sumber aliran sumber minyak mereka, sehingga memicu perdebatan soal "penghapusan - phase out" versus "pengurangan - phase down" dari sumber-sumber energi fosil.

"Jika negara-negara kunci merasa bahwa bahan bakar fosil memberikan mereka keamanan energi yang lebih besar, kemungkinan transisi ke energi alternatif kurang mendapat dukungan, terutama dalam jangka pendek hingga menengah," ujar Eberle.

APAKAH AKSI IKLIM BISA MEMENGARUHI KONFLIK DI MASA DEPAN?

Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) menemukan hubungan yang jelas antara dampak perubahan iklim dan pemicu konflik di masa depan.

Peristiwa iklim yang ekstrem akan menciptakan peningkatan pembentukan kondisi terjadinya konflik dan kekerasan. Misalnya kekeringan, bisa menyebabkan gejolak sosial akibat kekurangan makanan dan rusaknya kepercayaan kepada pemerintah.

Perubahan iklim telah memiliki dampak yang parah di kawasan Timur Tengah. Suhu ekstrem lebih dari 50 deraja Celcius menimbulkan stres parah di kalangan masyarakat, sementara kelangkaan air dan kekeringan mengancam pasokan makanan.

Akibat kekurangan hujan, negara-negara di kawasan sudah sangat bergantung pada desalinasi, yang diketahui memiliki dampak buruk bagi kondisi alam di Teluk Persia.

"Walau mungkin sulit, penting bagi para politisi dan diplomat untuk tidak membiarkan krisis di Timur Tengah mengalihkan perhatian mereka dari risiko jangka panjang perubahan iklim, termasuk kaitannya dengan konflik," kata Eberle.

"Tapi fokus pada (hubungan antara) pemanasan global dan konflik akan sulit dilakukan jika perang panas masih segar dalam ingatan para peserta."

Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.

Source: CNA/da(ih)
Advertisement

Also worth reading

Advertisement