Antara penembakan mal, masalah kesehatan mental remaja, dan problematika kepemilikan senjata di Thailand
Penembakan massal oleh seorang remaja di sebuah mal mewah di Bangkok Selasa lalu terjadi di tengah meningkatnya tren kejahatan anak-anak muda di Thailand.

BANGKOK: Penembakan massal oleh seorang remaja terjadi di sebuah pusat perbelanjaan mewah di Bangkok pada Selasa lalu (3 Okt), menewaskan dua orang dan melukai beberapa pengunjung lainnya. Kasus ini memicu sorotan terhadap kesehatan mental remaja dan seruan untuk memperketat pengendalian senjata di Thailand.
Pelaku penembakan, yang menurut keterangan polisi adalah remaja 14 tahun dengan masalah kesehatan mental, menyerang mal yang kerap dikunjungi warga lokal dan turis di Bangkok menggunakan pistol peluru kosong yang telah dimodifikasi. Pelaku akhirnya menyerah di bawah todongan senjata aparat setelah satu jam melancarkan aksi.
Insiden ini menunjukkan adanya problematika pada regulasi kepemilikan senjata di Thailand. Sebelumnya kurang dari setahun lalu, penembakan massal juga terjadi di tempat penitipan anak provinsi Nong Bua Lamphu yang menewaskan 36 orang – 24 di antaranya anak-anak.
Ahli kriminologi dari Rangsit University, Dr Krisanaphong Poothakool, kepada CNA mengatakan bahwa penembakan massal Selasa lalu menunjukkan peningkatan tren yang mengkhawatirkan pada kenakalan remaja di Thailand.
Data dari Departemen Perlindungan dan Pengawasan Remaja Thailand menunjukkan bahwa antara Oktober 2020 dan September 2021 terdapat 1.447 kekerasan yang berakhir dengan korban luka atau tewas, dengan pelaku berusia di bawah 18 tahun. Pada periode yang sama setahun kemudian, angkanya meningkat menjadi 1.695 kasus kekerasan.
"Tingkat keparahan kejahatan oleh anak dan remaja meningkat. Kita harus mengakuinya sekarang, bahwa undang-undangnya bermasalah karena tidak mampu menghukum para pelaku," kata Dr Krisanaphong.
UBAH KLASIFIKASI PISTOL PELURU KOSONG
Insiden penembakan ini dapat merusak upaya Thailand dalam memulihkan perekonomian dan sektor pariwisatanya yang terpuruk akibat pandemi COVID-19.
Cuplikan-cuplikan video yang memperlihatkan para pengunjung mal berlarian keluar mal bertebaran di internet pada Selasa sore, ratusan orang lainnya masih terjebak di dalam, bersembunyi di toko-toko dan ruang konferensi.
Pemerintahan yang baru di bawah Perdana Menteri Srettha Thavisin baru-baru ini membebaskan persyaratan visa bagi turis China untuk meningkatkan sektor pariwisata. Namun insiden penembakan dikhawatirkan dapat merusak citra negara tersebut.
Aparat melaporkan bahwa dua orang yang tewas dalam penembakan Selasa lalu adalah warga negara China dan Myanmar. Sementara korban luka, di antaranya adalah dua warga asing dari China dan Laos, dan tiga warga Thailand.
Usai insiden maut itu, Perdana Menteri Srettha berjanji pemerintahannya akan melakukan tindak pencegahan demi memastikan keamanan bagi semua wisatawan di Thailand.
Di saat yang sama, peristiwa tersebut juga memantik perhatian publik terhadap masalah kesehatan mental remaja di negara tersebut.
Dr Varoth Chotpitayasunondh, psikiater dan juru bicara Departemen Kesehatan Mental di Kementerian Kesehatan Publik Thailand, kepada CNA mengatakan bahwa ada peningkatan tren masalah kejiwaan di antara anak dan remaja Thailand sejak pandemi.
Berbagai masalah ini, kata dia, termasuk stres, depresi dan risiko bunuh diri.
"Kami telah memonitor kondisi ketika masyarakat mendatangi layanan kesehatan mental dan menemukan bahwa angkanya meningkat dalam tiga tahun terakhir," kata Dr Varoth.
Antara 12 Februari 2022 dan 2 Oktober 2023, sebanyak 278.358 orang usia 18 tahun dan lebih muda dari itu melakukan pengujian kesehatan mental di Kementerian Kesehatan Thailand.
Data menunjukkan bahwa walau 51,6 persen dari mereka memiliki kesehatan mental yang bagus, namun 10,24 persen lainnya berisiko depresi dan 17,68 punya kecenderungan bunuh diri.
MEWASPADAI SINYAL KEKERASAN
Dr Varoth kepada CNA mengatakan bahwa keluarga memainkan peranan penting dalam kesehatan mental remaja. Pengawasan yang cermat dari keluarga bisa mencegah terjadinya kekerasan.
"Keluarga punya peran kunci dalam mendeteksi perubahan perilaku atau kekerasan yang mungkin terjadi. Ada tanda-tanda kekerasan dan jika kita bisa mendeteksinya lebih dini, maka kita bisa menghentikannya," jelas dia.
Tanda-tandanya dapat muncul dalam bentuk verbal dan fisik, seperti mengumpat, menyakiti diri sendiri dan orang lain.
"Belakangan ini kita juga harus semakin mewaspadai kekerasan online, karena bisa jadi itu sebuah pertanda," tambah dia. "Kebiasaan seperti mengoleksi senjata dan ekspresi diri yang terlihat semakin penuh kekerasan juga jadi pertanda."
Menurut psikiater, orang-orang dengan masalah kesehatan mental tapi tidak mendapatkan perawatan yang tepat punya kecenderungan melakukan kekerasan, baik terhadap diri sendiri atau orang lain.
Gejalanya juga bisa memburuk dan bisa mengakibatkan halusinasi pendengaran, delusi dan paranoid.
Bagi sebagian orang, kondisi ini mungkin tidak terlihat sampai seseorang berbicara dengan mereka atau menyadari ada rasa frustrasi yang mereka pendam.
"Masalah kesehatan mental dapat tumbuh dengan sendirinya," kata Dr Varoth kepada CNA. "Jika keluarga tidak membicarakannya, akan sangat sulit melepaskan semua perasaan yang terpendam di dada."
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.