Risiko di balik ambisi Indonesia jadi pusat penyimpanan emisi karbon
Dengan kapasitas lebih dari 600 miliar ton, Indonesia berambisi besar dalam penangkapan dan penyimpanan karbon. Tapi biaya penyimpanan dan energi untuk menjalankan teknologinya sangat mahal. Apakah ambisi ini bisa membantu target nol emisi Indonesia?

SUBANG, Indonesia: Di atas sawah milik Sukirman yang dulu sempat menjulang anjungan pengeboran minyak, kini berdiri sebuah sangkar besi berbentuk kubus.
Di dalamnya terdapat pipa-pipa, alat-alat pengukur tekanan dan katup-katup, menjadi pengingat akan apa yang terjadi antara 2018 dan 2022, ketika perusahaan minyak negara Pertamina mengebor ratusan barel minyak per harinya dari kedalaman tanah di desa Sukirman di kabupaten Subang, Jawa Barat, itu.
Saat itu, malam seperti siang karena api yang terus berkobar dari gas yang terbakar - sebuah produk turunan yang umum dalam produksi minyak - menerangi permukiman Sukirman di pesisir utara pulau Jawa.
Tapi tahun lalu, semuanya berhenti.
"Pekerja mulai membongkar alat-alat pengeboran, menyumbat sumurnya dengan pipa-pipa ini lalu mereka pergi," kata pria 51 tahun ini kepada CNA. Minyaknya telah kering dan Pertamina melanjutkan pengeboran di tempat lainnya di Subang, kata dia.

Namun jika rencana Indonesia untuk menjadi pusat penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) di Asia Pasifik terwujud, maka sumur minyak yang sudah tidak beroperasi itu akan punya kesempatan hidup kedua.
Indonesia berencana memanfaatkan ribuan reservoir minyak dan gas bumi yang sudah habis di seluruh negeri untuk bisa menyimpan secara permanen karbon dioksida yang dikeluarkan oleh industri-industri berat, termasuk dari luar negeri.
Rencana ini menarik minat beberapa perusahaan minyak raksasa, yang mengklaim bahwa ini adalah cara mengurangi emisi sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi.
Dalam kunjungan Presiden Joko Widodo ke Washington bulan lalu untuk bertemu Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Pertamina menandatangani kesepakatan dengan Exxon Mobil dan Chevron untuk melakukan evaluasi investasi senilai US$2 miliar bagi pengembangan CCS di dua cekungan di Laut Jawa.
Perusahaan minyak besar lainnya, BP, memiliki proyek penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (CCUS) di Tangguh, lepas pantai Papua Barat, yang mulai dibangun pada 24 November lalu.
Indonesia juga telah mengundang negara-negara lain seperti Jepang, Korea Selatan dan Singapura untuk mengembangkan infrastruktur yang diperlukan bagi penyimpanan karbon di negara ini.
Di tengah optimisme Indonesia yang menggebu-gebu, para pengamat menyuarakan kekhawatiran mereka soal tingginya ongkos CCS - antara US$80 dan US$1.000 per ton CO2 yang disimpan - dan menyoroti fakta bahwa proses ini memerlukan energi yang besar. Proyek-proyek CCS punya riwayat tidak mampu memenuhi target pengurangan emisi, beberapa proyek bahkan ditinggalkan di tengah-tengah pembangunannya.
SEMUA SOAL BIAYA
Teknologi CCS sudah ada sejak 1970-an dan dimaksudkan untuk mengekstraksi lebih banyak minyak lagi dari reservoir, bukan untuk mengurangi emisi karbon.
Menyuntikkan karbon dioksida ke dalam sumur yang sudah kering dapat meningkatkan fluiditas atau kualitas kecairan dari minyak mentah, sehingga bisa mengekstraksi lebih banyak lagi bahan bakar fosil tersebut.
Beberapa perusahaan telah menggunakan teknologi ini untuk meningkatkan produksi mereka di Indonesia, dan para pejabat pemerintah berharap dalam beberapa tahun ke depan sumur-sumur minyak yang kering itu akan siap menampung karbon dari dalam dan luar negeri secara komersial.
"Sebelumnya, hanya ada satu pilihan untuk sumur-sumur kering, yaitu menonaktifkannya dengan proses yang dalam industri migas disebut plug and abandonment (tutup dan tinggalkan)," kata Dr Belladonna Maulianda, direktur eksekutif lembaga peneliti yang berdiri Mei lalu, Indonesia Carbon Capture and Storage Centre (ICCSC).
"Dari pada menghabiskan modal untuk plug and abandonment, mengapa tidak menggunakannya (sumur-sumur) untuk CCS?"
Penelitian menunjukkan bahwa sumur gas dan minyak Indonesia yang sudah kering memiliki potensi untuk menyimpan delapan miliar ton karbon dioksida.
Namun, CO2 juga bisa disimpan di saline aquifers, yaitu formasi batuan bawah tanah yang mengandung air berkadar garam tinggi. Lembaga penelitian pemerintah, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Teknologi Minyak Dan Gas Bumi (Lemigas), memperkirakan saline aquifers Indonesia mampu menyimpan hingga 600 miliar ton karbon dioksida.

Indonesia cocok untuk CCS karena wilayahnya yang luas, kata Bill Sullivan, pengacara pertambangan dan lingkungan yang berkantor di Jakarta.
"Masalah sebenarnya", kata dia, adalah "teknologi dan biaya untuk menggunakan teknologi itu, dan apakah bisa berjalan sesuai dengan yang diinginkan atau tidak".
Secara umum ada dua cara CCS. Cara pertama dikenal dengan nama point-source capture atau penangkapan dari sumbernya. Dengan penangkapan jenis ini, asap emisi dari pabrik-pabrik dan pembangkit listrik masuk ke pipa dan diarahkan ke fasilitas yang memisahkan karbon dioksida dengan gas-gas lainnya.
Cara CCS kedua, dikenal sebagai direct air capture, ketika CO2 secara langsung diekstraksi dari udara dan disimpan di bawah tanah atau digunakan untuk berbagai kegunaan.
Kedua cara itu melibatkan proses pemberian tekanan terhadap karbon dioksida yang ditangkap untuk mengubahnya menjadi cair agar mudah dipindahkan.
Biaya yang dibutuhkan diperkirakan antara US$80 sampai US$150 untuk setiap ton karbon dioksida yang ditangkap, dikirim dan disimpan menggunakan cara point-source capture.
Penangkapan langsung dari udara bahkan lebih mahal lagi, antara US$600 hingga US$1.000 per tonnya.
Ada 41 fasilitas CCS yang beroperasi di seluruh dunia dengan kapasitas penangkapan 49 juta ton CO2 per tahun, berdasarkan laporan Global CCS Institute. Jumlahnya masih kontras jika dibandingkan emisi CO2 terkait energi-global yang melampaui 36,8 miliar ton per tahun, berdasarkan data Badan Energi Internasional.
Ongkosnya yang mahal menjadi alasan mengapa banyak kritikus meragukan efektivitasnya dan banyak perusahaan yang enggan mengadopsi teknologi ini.
Sektor energi Indonesia, misalnya, mengeluarkan emisi CO2 hingga 600 juta ton pada 2021. Artinya, pembangkit listrik di negara ini harus menghabiskan miliaran dolar setiap tahunnya jika ingin menyimpan karbon yang mereka emisikan.
Belladonna mengatakan Indonesia berencana menciptakan pusat CCS, tempat di mana pabrik-pabrik berbagi fasilitas yang sama untuk penyimpanan karbon yang ditangkap dengan cara point-source capture.
"Secara ekonomis akan lebih murah karena beberapa perusahaan berbagi infrastruktur, fasilitas, biaya dan kewajiban yang sama," kata dia.
Saat ini, lanjut dia, ada dua tempat yang potensial untuk menjadi pusat CCS pertama Indonesia, yaitu di Jawa dan Kalimantan. Studi kelayakan masih dilakukan di dua lokasi tersebut.
SOLUSI YANG TEPAT ATAU CUMA PENGALIHAN?
Pengamat mengatakan, mengadopsi teknologi CCS untuk menurunkan emisi karbon ibarat memakan buah simalakama. Pasalnya, teknologi ini justru membantu perusahaan-perusahaan minyak untuk meningkatkan produksi bahan bakar fosil mereka.
"Industri bahan bakar fosil mencoba mengulur waktu dengan bantuan dari teknologi CCS supaya terus memproduksi minyak dan gas bumi," kata Leonard Simanjuntak, direktur Greenpeace untuk Indonesia.
Ambisi Indonesia untuk menjadi pusat CCS regional muncul di tengah menurunnya produksi minyak. Produksi tahunan minyak Indonesia sekarang sekitar sepertiga dari tiga dekade lalu, dan Indonesia telah menjadi importir minyak pada awal 2000-an.
Menurut kementerian energi dan sumber daya mineral, produksi minyak Indonesia mencapai puncaknya dengan produksi 2,96 juta barel per hari pada 1994. Sejak saat itu, produksinya terus menurun. Tahun lalu, produksi minyak Indonesia 1,01 juta barel per hari.

Energi dalam jumlah besar juga diperlukan untuk menangkap, mengompres, mengirim dan menyuntikkan karbon dioksida. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengatakan "penalti energi" ini bisa cukup besar jumlahnya, meningkatkan kebutuhan bahan bakar dan listrik antara 13 hingga 44 persen.
"Artinya ada lebih banyak karbon dioksida yang dilepaskan dan perlu disimpan," kata Leonard.
Kritikus juga menyebut CCS cuma pengalihan yang mengalihkan perhatian pemerintah dan menjauhkan investasi dari metode yang lebih murah dan dapat diandalkan dalam mengurangi emisi.
"Banyak yang meragukan efektivitas CCS dalam mengurangi emisi karbon," kata Putra Adhiguna dari lembaga peneliti asal AS, Institute for Energy Economics and Financial Analysis.
Risiko terbesar CCS adalah mengalihkan perhatian masyarakat dari opsi yang lebih layak, seperti transisi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan, memensiunkan PLTU batu bara atau mencegah penggundulan hutan.
Namun Belladonna mengatakan CCS adalah solusi satu-satunya untuk beberapa sektor, jika memang Indonesia ingin mencapai target emisi nol bersih pada 2060.
"Ada beberapa sektor yang sulit dikurangi, sulit di-dekarbonisasi seperti semen, baja, metanol, pupuk dan petrokimia. Bahkan jika mereka coba elektrifikasi kendaraan dan mengganti bahan bakar, mereka masih memproduksi CO2," kata dia.
"Untuk sektor-sektor ini, mereka butuh CCS."

SUMBER INVESTASI, ATAU 'SAMPAH' DARI LUAR NEGERI?
Ongkos CCS yang mahal tidak terjangkau bagi kebanyakan perusahaan di Indonesia, membuat para pengamat mempertanyakan apakah rencana pemerintah ini dapat membantu mewujudkan target emisi nol bersih, atau justru hanya menguntungkan entitas asing.
Saat ini pemerintah tengah menggodok regulasi yang memungkinkan negara-negara lain mengubur karbon mereka di Indonesia.
"Kita bisa memandangnya sebagai potensi sumber pendapatan saat Indonesia mendapatkan pendanaan untuk iklim dari sektor tersebut, terutama dari negara-negara yang tidak memiliki hutan sendiri - mereka harus mencari cara mengimbangi emisi yang mereka lepaskan ke negara lain," kata Farah Vianda dari Institute for Essential Services Reform (IESR), sebuah lembaga peneliti di Jakarta.
Farah sebagai ahli pendanaan untuk sektor berkelanjutan mengatakan bahwa Indonesia harus membatasi jumlah karbon yang diperuntukkan bagi pasar internasional, dan berikan sisanya untuk keperluan dalam negeri.
"Kita jangan mengorbankan kepentingan sendiri hanya karena butuh uang," kata dia.
Bhima Yudhistira, direktur eksekutif lembaga Centre of Economic and Law Studies (CELIOS) mengatakan bahwa saat ini tidak ada insentif bagi pebisnis lokal untuk menyimpan emisi karbon mereka.
"Saat ini kita tidak punya peraturan soal pajak karbon," ujar Bhima.
Indonesia seharusnya menerapkan pajak karbon pada 2022 tapi ditunda implementasinya hingga 2025, dengan alasan masih butuh waktu untuk memastikan tidak bentrok dengan regulasi dan undang-undang yang sudah ada.
Di bawah skema yang diajukan, perusahaan harus membayar Rp30.000 untuk setiap ton emisi karbon yang melampaui batas, lebih murah dibanding ongkos penyimpanan karbon.

Belladonna mengungkapkan, sejauh ini hanya negara-negara asing dan perusahaan multinasional yang menyatakan ketertarikan mereka menyimpan karbon di Indonesia.
"Kita tidak punya infrastruktur (untuk melakukan CCS) ... dan kita butuh uang dan investasi untuk mencapai emisi nol bersih dan menghasilkan potensi pemasukan bagi Indonesia," kata dia.
"Kita belum punya pajak atau insentif karbon untuk memotivasi pemain dalam negeri. Solusinya adalah membuka diri ke negara lain. Mereka memiliki motivasi karena punya pajak karbon, tapi tidak punya kapasitas penyimpanan (karbon)."
Seiring waktu, dia meyakini perusahaan lokal juga akan akan tertarik, terutama jika inovasi berikutnya mampu menurunkan biaya CCS.
"Investor sudah mempertimbangkan apakah mereka dapat melakukan CCS di Indonesia atau tidak ... karena mereka tidak ingin berkontribusi pada emisi global. Bank-bank sudah mulai mensyaratkan perusahaan untuk menyertakan laporan keberlanjutan dan portofolio emisi mereka sebelum meminjamkan uang. Konsumen juga mulai sadar lingkungan dan menginginkan produk tanpa emisi," kata Belladonna.
Tapi gagasan memperbolehkan negara lain menimbun karbon mereka di Indonesia bisa menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia yang patriotik, kata Bhima.
"(Teknologi CCS) telah menimbulkan kekhawatiran bahwa negara-negara maju seperti membuang sampah, dalam bentuk karbon, ke negara-negara berkembang seperti Indonesia," kata dia kepada CNA.
"Jika negara-negara maju berkomitmen mengurangi emisi, maka kebijakan teknologinya bukan dalam bentuk CCS tapi benar-benar untuk mengurangi produksi polutan."
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.