Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu
Advertisement
Advertisement

Indonesia

Apa yang terjadi jika kita berhenti main media sosial? Penulis ini membagikan pengalamannya

Tiga tahun yang lalu, kontributor CNA Luxury, Daven Wu, menutup akun Instagram, Facebook, Twitter, dan TikTok, serta menghapus seluruh aplikasi tersebut dari ponselnya. Apakah ada yang berubah dalam hidupnya?

Apa yang terjadi jika kita berhenti main media sosial? Penulis ini membagikan pengalamannya
Ilustrasi berhenti menggunakan media sosial. (Illustration: Jasper Loh)

Setiap kali saya mengungkapkan kepada teman dan kerabat bahwa saya tidak lagi menggunakan media sosial, reaksi mereka selalu sama: antara tidak percaya dan kasihan. Seolah-olah saya mengaku telah merekam acara TV melalui kaset VHS sembari mengenakan celemek dan mendengarkan album kumpulan Lagu-lagu Terpopuler karya David Hasselhoff — hal yang tampaknya sangat janggal dilakukan. 

"Tapi... bagaimana kamu tetap terhubung dengan orang-orang?" tanya teman saya, Benji, suatu hari.

Saya berhenti sejenak mengunyah salad kinoa dan terhenyak. "Hmm, dengan cara yang sama seperti yang kita lakukan sekarang ini?" 

Benji menghela napas. "Tidak, maksudku, (tetap terhubung) dengan orang yang tidak kamu kenal."

Yang membuat mereka bingung — terutama teman-teman saya — adalah bahwa saya dulu sangat aktif di Instagram. Setiap saat merupakan momen yang dapat saya manfaatkan untuk mengunggah sebuah konten. Sinar matahari jatuh dengan estetik di sofa saya, cekrek! Kerucut eksrim yang tampak bagus, cekrek! Bertemu dengan anak anjing yang menggemaskan, cekrek! Semangkuk mie Crystal Jade, cekrek dengan mode bokeh! Semuanya saya unggah dan menjadi konten di media sosial. 

Setelahnya, tentu saja saya akan menghabiskan beberapa jam di media sosial untuk mengetahui kabar terbaru tentang Oprah, Heidi Klum, dan orang asing di pedesaan Iowa dengan hewan-hewan peliharaan mereka yang menggemaskan.

Saat sedang melakukan gerakan yoga downward dog pun, saya akan bisa segera bangkit dan mengecek ponsel untuk mengecek notifikasi 'Suka' atau 'Komentar' dari media sosial. Instagram menjadi hal pertama yang saya cek saat bangun tidur, dan hal terakhir yang saya cek sebelum tidur.

Namun, sebagaimana hal lainnya dalam hidup, obsesi itu mulai berubah. Gangguan-gangguan kecil dalam hidup mulai muncul akibat sosial media. Contohnya saja, saya mulai tidak dapat fokus membaca teks apa pun yang panjangnya lebih dari satu paragraf. 

Selain itu, tayangan video reels yang kerap saya jumpai berulang-ulang, yang menampilkan influencer yoga melakukan gerakan sulit seperti backbends (melengkungkan punggung ke arah bawah) mulai membuat saya tertekan. Jangankan melengkungkan punggung ke bawah, membungkukkan badan saja sulit bagi saya.

Ditambah lagi, saya tertekan melihat teman-teman saya mengunggah konten mereka sedang berpergian, menggendong tas sembari memamerkan tiket pesawat. 

Hingga akhirnya, saya memutuskan berhenti menggunakan sosial media. Keputusan yang saya ambil begitu saja, tanpa banyak pertimbangan. Saya menutup akun Instagram, Facebook, Twitter, dan TikTok, serta menghapus seluruh aplikasi tersebut dari ponsel. Sebulan kemudian, saya juga berhenti menggunakan WhatsApp karena tidak ingin menambah kekayaan Mark Zuckerberg.

Tanpa terasa, itu semua terjadi tiga tahun lalu. Dan yang membuat orang-orang terkejut, saya masih sama saja seperti saya yang dulu. 

Memang, ada beberapa teman dan anggota keluarga yang mengeluh, "Mengapa kamu mengirim pesan lewat sms?" Tetapi ternyata, tanpa media sosial, dunia tidak berhenti berputar. Saya tidak dideportasi dari Singapura. Saya tidak masuk rumah sakit jiwa. 

Tentu saja, ada beberapa perubahan yang terjadi dalam hidup saya. Bukan perubahan yang menggemparkan, tapi pada dasarnya, saya sekarang memiliki lebih banyak waktu. Khususnya untuk beberapa hal berikut ini. 

Ilustrasi gangguan-gangguan kecil dalam hidup mulai muncul akibat sosial media. (Illustration: TODAY/Nurjannah Suhaimi)

1. PUNYA WAKTU UNTUK HAL LAIN

Saat saya sedang sangat terobsesi dengan Instagram, saya sempat bertanya kepada teman saya, Jen, berapa jam dalam sehari yang ia habiskan untuk mengecek akun media sosialnya itu.

Sembari mengerucutkan bibir, dia menjawab, "Tidak terlalu lama. Aku sangat disiplin. Tidak seperti kamu. Satu jam saja di pagi hari, satu jam lagi di malam hari. Sudah, hanya itu saja."

Saya menghitung waktu yang disisihkan Jen untuk mengecek media sosialnya, dan dalam ternyata jumlahnya mencapai 730 jam dalam setahun, atau bisa jadi dalam sebulan, jika kamu tidak disiplin seperti Jen. 

Dan Jen benar, dibandingkan dengannya, saya menghabiskan jauh lebih banyak waktu untuk mengecek media sosial. Waktu sebanyak itu mungkin bisa saya gunakan untuk menemukan obat untuk kanker — atau, paling tidak, belajar menari tap dance.

Ya, memang saya tidak melakukan keduanya, tapi saya mengikuti kelas hingga bisa menjadi guru reiki. Ya, begitu lah, saya kini punya waktu untuk melakukan hal lain. 

2. PUNYA WAKTU UNTUK BERSOSIALISASI

Bersosialisasi, dalam artian bertatap muka dengan orang lain. Memang, perlu sedikit usaha untuk mengatur pertemuan dengan seseorang, tetapi belum ada yang bisa menggantikan serunya berinteraksi secara langsung dengan teman, tertawa dan berbincang sambil menikmati sepiring mie goreng khas Thailand.

Ini tentu lebih seru dibanding "bersilaturahmi" dengan cara menekan tombol suka pada unggahan foto yang menampilkan mereka tengah terjebak dalam antrean panjang imigrasi di bandara di Bangkok.

3. PUNYA WAKTU UNTUK KEHIDUPAN NYATA

Ada masanya saya pernah bermimpi untuk menjadi seorang pemengaruh (influencer). Atau setidaknya, menjadi seseorang yang terkenal melalui media sosial. Tidak terbayang ingin menjadi influencer di bidang apa, tapi bayangan dikejar-kejar paparazi dan diwawancarai Oprah selalu terlintas di pikiran saya. 

Hingga akhirnya, saya menyadari bahwa untuk setiap Justin Bieber atau Troye Sivan yang kariernya meroket melalui media sosial, ada milyaran orang lain yang seperti saya: mengunggah konten setiap hari namun tidak menjadi siapa-siapa, tidak juga terkenal apalagi kaya raya. 

Dengan kata lain, bagi sebagian besar dari kita, peluang untuk mendapatkan pekerjaan impian — seperti menjaga hewan peliharan Taylor Swift sembari mengunggah konten foto roti sourdough buatan sendiri — tampaknya tidak terlalu besar. 

4. PUNYA WAKTU UNTUK MEMBACA

Tidak lagi terbiasa membaca takarir pendek di media sosial ternyata membuat saya dapat kembali mengasah otak dan dapat kembali membaca novel-novel panjang. Aktifitas yang sangat saya sukai. 

5. PUNYA WAKTU UNTUK HAL YANG LEBIH PENTING

Tidak, saya tidak bilang unggahan kamu di media sosial itu tidak penting. (Tapi apakah memang penting? Jika iya, tidak ada juga yang peduli.) Hanya saja, setelah berjarak dengan media sosial selama tiga tahun, saya menyadari bahwa sebagian besar hal yang membuat saya kecanduan media sosial ternyata tidak ada artinya. 

Saya sekarang merasa heran, mengapa dulu unggahan dari orang yang tidak saya kenal bisa membuat saya seketika rendah diri, seolah-olah saya kurang berprestasi?

6. PUNYA WAKTU UNTUK MENJADI LEBIH BAIK

Seorang teman bertanya, "Tapi bagaimana kamu mendapatkan pekerjaan? Bagaimana orang-orang tahu tentang pekerjaanmu, atau apa yang kamu kerjakan?" 

Bagi saya, saya bisa mengabarkan hal itu melalui LinkedIn. Menurut saya, LinkedIn berbeda dengan Twitter atau TikTok. 

Lagi pula, saya ingin mengutip komedian Steve Martin, "Jadilah orang yang hebat sehingga keahlianmu selalu dibutuhkan orang." Jadi, saya menerapkan hal itu. 

Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris di sini. 

Source: CNA/ps(ih)
Advertisement

Also worth reading

Advertisement