Skip to main content
Best News Website or Mobile Service
WAN-IFRA Digital Media Awards Worldwide 2022
Best News Website or Mobile Service
Digital Media Awards Worldwide 2022
Hamburger Menu
Advertisement
Advertisement

Indonesia

Pria Singapura ini sudah 300 kali donor darah, jadi kewajiban baginya setelah insiden maut 45 tahun lalu

Sekitar 45 tahun yang lalu, 76 orang tewas dan puluhan terluka dalam ledakan kapal tanker Spyros di Galangan Kapal Jurong. Insiden itu mendorong warga Singapura untuk donor darah, beberapa dari mereka masih rutin mendonorkan darahnya, bahkan hingga ratusan kali sampai saat ini.

Pria Singapura ini sudah 300 kali donor darah, jadi kewajiban baginya setelah insiden maut 45 tahun lalu
Gerard Thomasz (kiri) telah mendonorkan darahnya lebih dari 300 kali, sementara Cornelius Pang 120 kali. Keduanya mendonorkan darah pertama kali usai tragedi kapal Spyros pada 12 Oktober 1978. (Foto: CNA/Raydza Rahman)

SINGAPURA: Kewajiban – itu adalah kata yang digunakan Gerard Thomasz, 63, ketika berbicara tentang donor darah.

Perkara donor darah, veteran yang telah menyumbangkan darahnya lebih dari 300 kali ini – rata-rata sebulan sekali selama 25 tahun – jauh lebih paham dibanding orang lain.

Dia adalah satu dari ratusan orang yang berbaris di Singapore General Hospital pada 13 Oktober 1978 untuk mendonorkan darahnya setelah kecelakaan industri terparah di Singapura.

Sehari sebelumnya, kapal tanker minyak milik Yunani, Spyros, meledak di Galangan Kapal Jurong yang menewaskan 76 orang dan melukai puluhan lainnya.

Ledakan itu terjadi di kapal yang sedang penuh pekerja, menghancurkan sebagian besar bagian kapal. Minyak dan air mengalir masuk, memicu kebakaran di ruang mesin dan ketel.

Sesaat setelah ledakan, para pekerja di galangan mencoba masuk ke dalam kapal untuk menyelamatkan rekan-rekan mereka.

Total 57 orang tewas di hari terjadinya ledakan, kebanyakan karena luka bakar hebat, keracunan karbonmonoksida, sesak napas, tenggelam atau sebab-sebab lainnya.

Lebih dari 80 orang dilarikan ke Alexandra Hospital dan Singapore General Hospital, 19 di antaranya kemudian meninggal dunia karena luka-luka yang diderita.

Seiring tersebarnya kabar insiden tersebut, keluarga para korban berdatangan ke rumah sakit dan menanti kabar orang-orang terkasih mereka.

Ratusan warga juga berdatangan untuk mendonorkan darah mereka. Dokter-dokter dan staf rumah sakit bekerja lembur untuk merawat para korban.

Tentara Singapura antre untuk mendonorkan darah setelah ledakan dan kebakaran di kapal tanker Spyros yang menyebabkan puluhan orang terluka pada 12 Oktober 1978. (Foto: Koleksi Kementerian Kesehatan/Arsip Nasional Singapura)

"TERDENGAR TANGISAN DAN RATAPAN ORANG-ORANG TERKASIH"

Thomasz and Cornelius Pang – yang keduanya saat itu sedang menempuh pendidikan di Angkatan Udara Republik Singapura – tengah tidur di barak ketika alarm berbunyi sekitar pukul 4 pagi.

Ratusan tentara dikumpulkan dan dibawa ke Singapore General Hospital, sebagian dari mereka bahkan belum tahu soal ledakan tersebut.

"Kami dikumpulkan dan diberitahu ada bencana, kami membicarakannya, berdiskusi soal seberapa parah (bencana itu)," kata Thomasz, yang ketika itu tinggal beberapa hari lagi berusia 18 tahun.

"Kemudian kami mendengar di radio soal keadaannya yang buruk ... situasi ketika itu sangat ripuh."

Meski beberapa hari lagi berulang tahun, dia diperbolehkan mendonorkan darahnya karena pasokan kian menipis. Ketika itu di Singapura, hanya mereka yang berusia 18 tahun ke atas boleh mendonorkan darah.

"Peristiwa itu membuka kesadaran, karena saya belum pernah ke bank darah sebelumnya, itu yang pertama kali," kata dia.

Gerard Thomasz's blood donation card showing his first donation on Oct 13, 1978 – a day after the Spyros disaster. (Photo: Gerard Thomasz)

Melihat kerumunan orang di rumah sakit yang menanti kabar keluarga mereka, membuat Pang menyadari soal betapa parahnya insiden tersebut.

"Sesuatu yang saya sadari adalah adanya ... keputusasaan karena ada banyak orang dan mereka berkerumun, mereka para keluarga korban," kenang Pang.

"Saya ingat ketika itu berkeliling untuk melihat-lihat dan tanpa sadar masuk ke kamar mayat.

"Saya melihat mayat-mayat dan itu mengerikan, sangat-sangat mengerikan."

Pemandangan mengerikan tubuh-tubuh yang terbakar masih terbayang hingga saat ini di benak Pang.

"Jika saya menutup mata, saya masih bisa melihat potongan-potongan kejadian itu dengan sangat jelas. Bahkan, saya menderita fobia (dengan rumah sakit) setelah itu, karena seharusnya saya tidak melihat mayat dalam kondisi seperti itu ... dan kemudian saya mendengar tangisan dan ratapan dari orang-orang terkasih."

Pang, sejak saat itu telah mendonorkan darahnya 120 kali. Dia merasa mendonorkan darah adalah hal yang baik untuk dilakukan dan "ada sesuatu dalam diri saya mendorong" untuk terus melakukannya.

Keluarga dan kerabat menunggu di luar rumah sakit setelah insiden meledaknya kapal tanker Spyros yang menewaskan 76 orang dan melukai puluhan lainnya pada 12 Oktober 1978. (Foto: Koleksi Kementerian Kesehatan/Arsip Nasional Singapura)

Setelah insiden ledakan Spyros, banyak orang yang datang memenuhi seruan untuk donor darah, kata Prakash Menon, direktur program donor darah di Palang Merah Singapura.

Itu adalah "pola pikir orang Singapura", kata dia.

"Ketika mereka tahu kami butuh pertolongan, mereka datang - banyak sekali - secara berduyun-duyun.

"Setelah kejadian itu, banyak dari mereka yang masih mendonorkan darah."

Prakash Menon, direktur grup program donor darah Palang Merah Singapura. (Foto: CNA/Raydza Rahman)

300 KALI DONOR DARAH

Thomasz, yang kini telah pensiun, adalah satu dari sejumlah kecil pendonor di Singapura yang telah menyumbangkan darahnya lebih dari 300 kali.

Donor pertamanya adalah saat ketika dia darahnya benar-benar dibutuhkan, lalu ratusan donor setelahnya dilakukannya secara sukarela. Dia juga terinspirasi dari ayahnya yang telah mendonorkan darah puluhan kali.

"Saya harus melakukan kewajiban saya. Saya tidak pernah berpikir seberapa banyak darah yang telah digunakan, untuk tujuan apa dan untuk siapa," kata dia.

Dia mulai melakukan donor darah - yang hanya bisa dilakukan setiap tiga bulan sekali - sebelum beralih ke donor apheresis, yang bisa dilakukan sebulan sekali.

Apheresis adalah proses otomatis penarikan darah dari donor dengan sebuah mesin yang mengekstraksi plasma, trombosit, dan sel darah merah, sebelum mengembalikan komponen sisanya kepada donor.

Waktu yang dibutuhkan untuk donor ini lebih lama, 45 menit sampai satu setengah jam.

Belakangan ini, Thomasz menemui kawan dan mantan rekan kerjanya lalu pergi bersama ke bank darah untuk "melakukan kewajiban".

Dia menambahkan: "Jika diingat ke belakang, saya merasa ini adalah perjalanan yang bernilai. Menyumbang kepada masyarakat telah menjadi bagian dari diri saya ... saya bisa menyumbang tanpa ada syarat apapun.

Pang, yang belakangan berkenalan dengan Thomasz, mengatakan donor darah telah menjadi kebiasaan.

"Saya melihatnya seperti ini ... Anda menyumbang, maka mereka bisa tetap hidup. Anda tidak menyumbang, mereka bisa mati. Kedengarannya memang sangat kejam, tapi itu faktanya," kata dia.

Fakta soal pasokan darah di Singapura

Di Singapura, darah dibutuhkan setiap harinya, tidak hanya untuk pasien luka atau bedah, tapi juga untuk mereka dengan kelainan darah atau kondisi medis lainnya.

Sekitar 54 persen penggunaan darah di Singapura adalah untuk bedah, sementara 31 persen untuk keperluan medis secara umum. Sekitar 9 persen diperkirakan untuk mereka dengan kelainan darah, dan 6 persen untuk korban kecelakaan dan situasi darurat.

Ketika pasokan darah menyentuh titik kritis, beberapa operasi bedah tertentu harus ditunda untuk menjaga pasokan darah bagi kondisi darurat yang melibatkan nyawa.

Per 13 Oktober, pasokan darah di Singapura adalah sebagai berikut:

Rendah: O+, AB-

Sedang: B-

Cukup: A+, B+, AB+, A-, O-

Menurut Otoritas Ilmu Kesehatan Singapura, O adalah golongan darah universal untuk transfusi sel darah merah. Golongan darah ini digunakan pada situasi darurat ketika golongan darah pasien tidak diketahui.

Collapse

Ada masa ketika pasokan darah di Singapura mencapai titik terendah atau kritis.

Ketika berada di titik kritis, artinya pasokan yang tersedia hanya untuk kurang dari enam hari dan hanya akan digunakan dalam kondisi darurat medis.

Salah satu cara Singapura memulihkan pasokan darah adalah melalui donor darah.

MASYARAKAT YANG TERUS MENUA

Masyarakat akan datang berbondong-bondong menyumbangkan darah mereka di saat darurat atau pada pandemi COVID-19. Namun jumlahnya menurun drastis dalam kondisi tenang.

Saat ini, ada sekitar 1,8 persen populasi Singapura yang mendonorkan darahnya.

Pada tahun 2030, hampir satu dari empat penduduk Singapura akan berusia di atas 65 tahun. Dengan populasi yang menua dengan cepat, permintaan akan darah pun meningkat.

Ketika negara ini mencapai kondisi tersebut, 1,8 persen tidak akan cukup, kata Menon.

"Sekarang, hal ini masih dapat dikelola. Tetapi dalam lima hingga 10 tahun ke depan, kita akan melihat meningkatnya penggunaan darah, oleh karena itu dibutuhkan lebih banyak pendonor," tambahnya.

"Singapura harus melewati 2,5 persen hingga 3 persen (pendonor) dalam lima tahun ke depan."

Namun ada secercah harapan - dari total jumlah pendonor darah di Singapura, sekitar 17 persennya adalah kaum muda berusia 16 hingga 25 tahun.

Palang Merah Singapura bekerja sama dengan sekolah-sekolah untuk mengedukasi generasi muda agar mereka memahami pentingnya mendonorkan darah dan menjadikan donor darah sebagai "gaya hidup".

Menon menyebutnya sebagai "tanggung jawab sosial untuk semua orang".

Ini adalah pandangan yang juga dianut oleh Pang.

"Pada akhirnya, seseorang membutuhkan darah Anda. Jika kita melihat sebaliknya, mungkin suatu hari akan tiba saatnya kita atau orang yang kita cintai membutuhkan darah. Kita tidak akan pernah tahu," katanya.

Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.
 

Source: CNA/da(ih)
Advertisement

Also worth reading

Advertisement