Kisruh dugaan korupsi Kabasarnas berbuntut silang pendapat soal peran TNI pada jabatan sipil

JAKARTA: Para pakar dan aktivis di Indonesia mengecam langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menyerahkan kasus dugaan korupsi yang melibatkan dua perwira militer ke Pusat Polisi Militer (Puspom TNI).
Langkah KPK memicu kekhawatiran akan adanya keringanan hukuman terhadap kedua tersangka lantaran tidak transparannya proses hukum dalam pengadilan militer. Peristiwa ini juga semakin menggencarkan seruan kepada Presiden Joko Widodo agar menghentikan penunjukan perwira aktif untuk menduduki jabatan non-militer.
Kontroversi ini bermula ketika KPK pada Rabu (26 Juli) menetapkan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Henri Alfiandi sebagai tersangka atas dugaan suap senilai Rp88 miliar.
Penetapan status tersangka dilakukan setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap beberapa orang pada Selasa pekan lalu, termasuk salah satunya Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kepala Basarnas Afri Budi Cahyanto.
Baik Henri dan Afri keduanya adalah anggota TNI aktif. Henri adalah mantan marsekal madya - pangkat setara letnan jenderal - sementara Afri adalah letnan kolonel.
KPK mengatakan, tiga tersangka lainnya adalah kontraktor sipil yang mendapat kontrak dari Basarnas sejak 2021 untuk pengadaan alat deteksi korban dalam reruntuhan.
Langkah KPK kemudian menuai kritik dari militer yang menganggap lembaga antirasuah tersebut telah melampaui kewenangannya dengan menetapkan status tersangka terhadap para perwira aktif.
Jumat lalu, KPK akhirnya menyetujui melimpahkan kasus Henri dan Afri kepada Puspom TNI. KPK selanjutnya hanya akan fokus pada tiga kontraktor sipil yang diduga memberikan suap kepada kedua perwira TNI tersebut.
"Kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan bahwasanya manakala ada melibatkan TNI, harus diserahkan kepada TNI, bukan KPK," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak kepada wartawan Jumat pekan lalu.
Sikap KPK ini langsung menuai kritikan dari para aktivis dan pakar.
"KPK telah merusak marwah mereka dengan meminta maaf. Langkah itu tidak beralasan dan tidak pantas. KPK punya hak dan harus mengadili kasus ini di pengadilan tipikor (tindak pidana korupsi)," kata Al Araf, ketua lembaga riset HAM dan keamanan Centra Initiative, kepada CNA.
Keputusan tersebut juga menimbulkan kisruh di dalam tubuh KPK sendiri. Para penyidik dan pegawai KPK mengecam penyerahan kasus Henri dan Afri ke Puspom TNI. Media setempat melaporkan, seorang penyidik senior KPK bahkan mengundurkan diri menyusul keputusan tersebut.

Beberapa LSM di Indonesia lantas menyerukan dihentikannya penunjukan perwira militer aktif untuk menjabat posisi non-militer.
"Pemerintah harus mengevaluasi kehadiran perwira militer aktif di beberapa institusi sipil ... karena itu hanya akan menimbulkan kontroversi hukum setiap kali terjadi tindak pidana yang melibatkan anggota militer aktif," kata Gufron Mabruri, direktur eksekutif lembaga advokasi HAM Imparsial, kepada CNA.
TUMPANG TINDIH KEWENANGAN
Dalam kasus dugaan suap ini, militer berargumen bahwa mereka adalah yang paling berhak menyelidiki dan menetapkan hukuman bagi para perwira aktif di Indonesia. Namun Agus Sunaryanto, koordinator LSM Indonesia Corruption Watch (ICW), tidak sependapat.
Sunaryanto mengatakan undang-undang 2004 yang mengatur soal KPK telah memberikan kewenangan bagi KPK untuk menyelidiki dan menjatuhkan hukuman terhadap perwira militer, selama tindak korupsi yang dituduhkan dilakukan bersama dengan warga sipil.
Namun, undang-undang tentang peradilan militer menyebutkan bahwa perwira aktif harus diadili di pengadilan militer. Undang-undang itu diberlakukan sejak 1997 dan belum pernah diamandemen.
Untuk mengakomodir dua undang-undang yang tumpang tindih ini, Sunaryanto mengatakan bahwa KPK bisa mengajukan pembentukan pengadilan "koneksitas", sebuah pengadilan ad-hoc dengan majelis hakim gabungan sipil dan militer.
"KPK belum pernah menggunakan kewenangan ini, dan ini sudah saatnya," kata dia.
Dalam video yang diunggah di Instagram, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta agar perdebatan soal siapa yang berhak menghukum perwira dihentikan.
"Yang penting kelanjutannya, agar terus dilakukan penegakan hukum atas substansi masalahnya, yakni korupsi," kata Mahfud, seraya menambahkan bahwa dia mendukung langkah KPK yang melimpahkan kasus ini kepada Puspom TNI.
Presiden Jokowi kepada wartawan pada Senin lalu mengatakan bahwa pemerintah tidak akan ikut campur dalam masalah antara KPK dan TNI. Dia juga menyerukan agar kedua lembaga untuk bekerja sama.
"Ya itu menurut saya masalah koordinasi. Masalah koordinasi yang harus dilakukan semua instansi sesuai dengan kewenangan masing masing, menurut aturan," kata dia.
Tapi Al Araf dari lembaga Centra Initiative tidak sependapat. Menurut dia, pengadilan militer tidak memiliki kapasitas dan kredibilitas yang sama untuk mengadili kasus korupsi seperti halnya pengadilan sipil.
"Ada banyak contoh kasus perwira militer mendapatkan hukuman yang ringan atas kejahatan seperti pelanggaran HAM, pembunuhan dan korupsi ketika diadili di pengadilan militer," kata dia.
Al Araf juga mengatakan proses di pengadilan militer kurang transparan, dengan hasil penyelidikan yang jarang diungkap ke publik. Selain itu, proses pengadilan militer biasanya tertutup bagi media dan masyarakat sipil.
"Pengadilan militer tidak memenuhi standar peradilan yang jujur dan adil, dan seringkali menghasilkan ketidakadilan bagi korban dan masyarakat luas," imbuh Al Araf.
TNI BERJANJI BERSIKAP PROFESIONAL
Dalam konferensi pers Senin lalu, Komandan Puspom TNI (Danpuspom TNI) Agung Handoko berjanji mereka akan menyelidiki kasus dugaan penyuapan ini secara profesional.Â
"Panglima TNI (Yudo Margono) dengan tegas memerintahkan semua perwira yang melanggar (peraturan) harus dihukum. TNI berkomitmen untuk memberantas korupsi," kata marsekal muda bintang dua ini.
TNI, kata Agung, telah mengundang KPK untuk membantu proses penyidikan, terutama karena para saksi dan barang bukti ada di tangan KPK.
"Sebagaimana arahan Panglima TNI, bahwa koordinasi dan sinergi antara KPK dengan Puspom TNI akan terus kita bina untuk penanganan kasus-kasus korupsi yang melibatkan personel TNI," kata dia.
Agung mengatakan bahwa Afri telah mengaku menerima apa yang dia sebut sebagai "dana komando" dari beberapa kontraktor swasta pemenang tender.

Kepada penyidik, imbuh Agung, Afri mengakui melakukan itu semua atas perintah dari Kabasarnas Henri. Afri juga selalu melaporkan kepada Henri besaran uang yang diterimanya dari pihak swasta.
Agung mengatakan, saat ditangkap pekan lalu, Afri baru saja menerima uang senilai hampir Rp 1 miliar dari salah satu kontraktor. Hingga Senin malam, Henri masih dalam proses interogasi penyidik.
Danpuspom Agung menuturkan bahwa kedua tersangka akan diadili di pengadilan militer kendati Henri, yang berulang tahun ke 58 pada 24 Juli lalu, baru saja memasuki usia pensiun.
"Tindak pidana tersebut terjadi pada saat beliau masih aktif. Jadi kita lihat tempus delicti, waktu kejadiannya," kata Agung.
MEMPERTANYAKAN PERAN MILITER DI JABATAN SIPIL
Presiden Jokowi telah berjanji untuk mengevaluasi penugasan personel militer pada institusi sipil.
"Semuanya akan dievaluasi, tidak hanya masalah itu, semuanya," kata Jokowi Senin lalu.
Setelah Henri menjalani tahanan militer dan memasuki masa pensiun, Panglima TNI Yudo Margono kemudian menunjuk Marsekal Madya Kusworo sebagai Kabasarnas yang baru.
Kusworo memulai tugas barunya itu pada Senin lalu.
Walau Basarnas merupakan institusi sipil pemerintah, namun sejak pendiriannya pada 1972 lembaga ini selalu dipimpin oleh perwira militer aktif dari berbagai satuan TNI.
Undang-undang tahun 2004 tentang TNI hanya memperbolehkan perwira aktif untuk menduduki jabatan di 10 institusi dan lembaga non-militer, salah satunya Basarnas.
Rancangan perubahan atas undang-undang tersebut saat ini sedang dibahas di parlemen. Beberapa politisi yang terlibat dalam pembahasan menyarankan agar jumlah lembaga sipil yang bisa diduduki perwira TNI harus ditambah.
Namun para ahli dan aktivis tidak sepakat, malah mereka menyarankan seharusnya jumlahnya dikurangi.
"Basarnas bukan lembaga militer, tidak terkait dengan pertahanan atau keamanan nasional. Jadi mengapa harus dikepalai oleh perwira militer aktif, apalagi mengingat militer telah menganggap hukum sipil tidak berlaku bagi mereka?" kata Al Araf dari Centra Initiative.
Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, selama perwira militer aktif tidak bisa tersentuh pengadilan sipil, maka seharusnya mereka tidak boleh menduduki jabatan sipil.
"Perwira militer yang bekerja di lembaga sipil seharusnya ditangguhkan sementara statusnya sebagai personel militer aktif. Dengan begitu, mereka sepenuhnya akan tunduk pada hukum sipil, termasuk hukum tentang korupsi," kata Fickar.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.Â
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai suku Baduy yang tradisinya terancam akibat ponsel pintar dan meminta bebas dari internet.Â
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.