Menjadi perhatian WHO dan mendominasi kasus di Singapura, seberapa serius COVID-19 varian JN.1?

- Singapura mencatat sekitar 56.043 kasus COVID-19 pada periode 3-9 Desember 2023, melonjak 75 persen dari pekan sebelumnya
- Kementerian Kesehatan mengatakan sebagian besar kasus merupakan varian JN.1
- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru saja mengklasifikasikan jenis ini sebagai "varian yang diperhatikan"
- Pakar penyakit menular mengatakan bahwa JN.1 mungkin mudah menyebar, tetapi tidak lebih parah dari berbagai varian sebelumnya
- Lonjakan kasus COVID-19 di Singapura, menurut pakar, merupakan dampak dari berbagai faktor, termasuk jeda waktu di antara vaksinasi, berkurangnya pemakaian masker hingga perjalanan
SINGAPURA: Varian COVID-19 teranyar, JN.1, menjadi varian yang paling banyak ditemukan dalam lonjakan kasus terbaru di Singapura. Varian ini dikategorikan sebagai "varian yang perlu diperhatikan" oleh WHO pada 19 Desember 2023 lalu.
Kementerian Kesehatan Singapura (MoH) pada pertengahan Desember 2023 lalu mencatat terdapat 56.043 kasus COVID-19 pada periode 3-9 Desember 2023, melonjak 75 persen dari pekan sebelumnya.
MoH menyarankan masyarakat untuk mengenakan masker di tempat keramaian meskipun mereka tidak sakit. Selain itu, mereka juga membuka fasilitas perawatan COVID-19 kedua untuk merawat pasien COVID-19 yang tidak memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
Meski demikian, jumlah rata-rata kasus per hari mulai turun pada pekan ketiga Desember 2023, yakni tercatat 7.730 kasus pada 17 Desember, menurun dari 7.870 kasus pada 12 Desember.
Dalam pernyataannya, MoH mengungkapkan bahwa sebagian besar kasus COVID-19 pada pertengahan Desember 2023 lalu berasal dari varian JN.1, meskipun tidak memberikan jumlah pasti infeksi dari varian ini.
Tingginya jumlah penularan varian ini yang kemudian mendorong WHO untuk mengkategorikannya sebagai "varian yang perlu diperhatikan".
Varian JN.1 merupakan turun dari varian BA.2.86, atau yang dikenal dengan nama strain "Pirola" dan termasuk juga dalam varian yang perlu diperhatikan, menurut pernyataan WHO pada pertengahan Desember 2023.
Kendati dampak kesehatan yang ditimbulkan dinilai rendah, prevalensi penyebaran varian ini secara global telah mendorong WHO untuk mengklasifikasikannya sebagai varian baru.
Berita TODAY mewawancarai sejumlah pakar penyakit menular tentang tingkat keparahan infeksi virus JN.1, penularannya, serta berbagai faktor lain yang menyebabkan lonjakan kasus COVID-19 terbaru di Singapura.
KITA PERLU KHAWATIR TERHADAP JN.1?
Dr Paul Tambyah, Ketua Masyarakat Internasional untuk Penyakit Menular, mencatat bahwa meskipun JN.1 sangat mudah menular, virus ini tidak menimbulkan dampak kesehatan yang lebih parah ketimbang varian sebelumnya.
Menurutnya, JN.1 ditemukan sejak beberapa waktu lalu, dan WHO telah mengumpulkan sampel varian ini sejak 25 Agustus 2023.
"Pengamatan WHO (bahwa JN.1 tidak menimbulkan kondisi kesehatan yang lebih parah) ini sejalan dengan data lokal di Singapura, yang menunjukkan bahwa di tengah lonjakan kasus, hanya terdapat sedikit peningkatan okupansi ICU," ujar Dr Tambyah.
Data dari MoH menunjukkan bahwa pada pekan pertama Desember 2023 rata-rata tingkat hunian ICU untuk kasus COVID-19 adalah 9,4, meningkat dari 4,4 pada pekan sebelumnya. Jumlah kasus pun melonjak menjadi 56.043 kasus, dari 32.035 kasus pada periode sebelumnya.
Dr Leong Hoe Nam, dokter penyakit menular di Rophi Clinic, mengatakan bahwa meskipun varian ini mungkin tidak lebih parah, namun menimbulkan dampak kesehatan yang "sama menyedihkannya" bagi orang-orang yang terinfeksi.
"Bagi mereka yang sudah lama tidak terinfeksi maka akan cenderung merasa lebih tidak nyaman," tambahnya.
"Bagi banyak lansia dan mereka yang memiliki risiko kesehatan, infeksi berikutnya bisa sama menyedihkannya, atau sama seriusnya, dengan infeksi terakhir," ujarnya.
MENGAPA JN.1 BEGITU MUDAH MENYEBAR?
Dr Tambyah mengatakan bahwa lonjakan kasus COVID-19 di Singapura kemungkinan besar dipicu oleh evolusi virus corona.
"Hal ini juga terjadi pada virus influenza dan flu biasa," tambahnya.
"Nyatanya, virus-virus ini telah beradaptasi dengan baik untuk menghindari sistem kekebalan tubuh manusia... Sebagian besar virus yang telah beradaptasi dengan baik pada manusia terus berevolusi untuk menghindari respons imun yang dihasilkan oleh infeksi atau vaksinasi," kata Dr. Tambyah.
Menurut para pakar, lambannya masyarakat mengikuti vaksinasi terbaru COVID-19 dan jeda waktu yang terus bertambah sejak infeksi sebelumnya juga mengakibatkan meningkatnya jumlah kasus.
"Dalam kedua kasus ini, semakin lama waktu yang dibutuhkan, semakin besar kemungkinan mereka akan jatuh sakit (karena) kurangnya kekebalan," ujar Dr Leong.
"Meskipun ada kekebalan hibrida, itu tidak cukup untuk jenis ini karena terdapat banyak mutasi sejak saat itu."
Kekebalan hibrida adalah kombinasi kekebalan dari efek infeksi sebelumnya dan vaksinasi. Kekebalan ini lebih kuat terhadap infeksi berikutnya.
Menurut Dr Tambyah, belum jelas apakah vaksin COVID-19 saat ini efektif melawan JN.1, tetapi WHO mengatakan bahwa perlindungan dari vaksin yang melawan varian Omicron XBB "kemungkinan besar akan efektif".
Dalam pernyataannya pada pertengahan Desember 2023 lalu, para pengamat teknis WHO masih terus memantau perkembangan kasus ini.
"Tentu saja jika penyerapan vaksin jauh lebih baik - seperti yang terjadi pada putaran vaksinasi sebelumnya - akan terjadi lebih sedikit kasus dan lebih sedikit pasien yang harus dirawat di rumah sakit," kata Dr Leong.
MoH menyatakan bahwa perlindungan minimum bagi manusia berusia berusia lima tahun ke atas adalah tiga dosis vaksin Pfizer-BioNTech (Comirnaty), Moderna-Spikevax atau Novavax (Nuvaxovid), atau empat dosis Sinovac.
Dalam situs webnya, MoH merekomendasikan dosis tambahan vaksin yang diperbarui setahun setelah dosis terakhir untuk mereka yang berusia 60 tahun ke atas, mereka yang rentan secara medis, dan lansia yang tinggal di fasilitas perawatan.
FAKTOR APA SAJA YANG PICU PENINGKATAN KASUS COVID-19?
Dalam laporan TODAY, para pakar mengatakan bahwa selain varian baru, berbagai faktor lain seperti kondisi musim dingin di belahan bumi utara dan makin banyak orang yang memilih tidak menggunakan masker, memicu peningkatan kasus COVID-19.
Menurut Dr Leong, lebih banyak kasus yang tercatat juga karena penderita mengalami lebih dari satu infeksi virus sekaligus.
"Orang-orang lebih bergejala karena mereka mungkin positif COVID-19, tetapi memiliki infeksi virus lain di tubuhnya yang tidak terdiagnosis," jelasnya.
Dengan gejala yang lebih parah, penderita akan lebih mungkin ke dokter atau menjalani perawatan di rumah sakit. Hal ini menimbulkan peningkatan jumlah kasus yang tercatat.
Dr Tambyah menyatakan bahwa meningkatnya perjalanan juga menjadi salah satu faktor yang membantu mencampur dan menyebarkan berbagai jenis virus yang telah berkembang di berbagai lokasi berbeda.
Terkait hal ini, menurut Dr Leong, kota dan negara yang terkoneksi dengan baik dengan belahan dunia lainnya akan menjadi yang paling awal mengalami peningkatan kasus COVID-19.
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.