Mengupas revolusi energi bersih China, sarat kontradiksi namun menyejahterakan
China telah berinvestasi miliaran dolar untuk teknologi hijau. Tapi di saat bersamaan, China juga membangun lebih banyak lagi PLTU batu bara.

GANSU, China: Rumah petani China, Wu Wenju, memang kecil dan sederhana, namun ada 48 panel surya yang terpasang di atapnya, berkilauan di bawah sinar matahari.
Keluarganya memiliki perkebunan kapas dan peternakan domba di desa Dunhuang, provinsi Gansu. Keberadaan panel-panel surya itu telah memberikan penghasilan tambahan bagi mereka: Sebuah perusahaan listrik memasangnya dengan gratis dan membayar sewa penggunaan atapnya.
Listrik yang dihasilkan terkoneksi dengan pembangkit lokal dan dapat juga digunakan oleh keluarga Wu secara gratis.
"Biasanya, konsumsi listrik kami sekitar 100 yuan (Rp219 ribu) per bulan," kata Wu. "Tapi sekarang kami bisa menghemat beberapa ratus yuan per tahun."
Untuk saat ini tidak semua keluarga di desa itu memasang panel surya, tapi sudah mulai banyak yang tertarik. Malah dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak warga desa di seantero China yang telah memasangnya.
Melalui Program Pengentasan Kemiskinan melalui Energi Surya (SEPAP) yang dicanangkan pemerintah Beijing, para pemilik rumah di China bisa menyewakan atap dan lahan mereka kepada perusahaan panel surya. Listik yang dihasilkan akan dijual ke pembangkit listrik, keuntungannya dibagikan dengan pemilik rumah.

He Jijiang, wakil direktur eksekutif Pusat Riset Transisi Energi dan Pembangunan Sosial di Tsinghua University, menggambarkan program ini sebagai "salah satu transformasi energi khas China".
"(Fotovoltaik) dibangun di desa-desa termiskin, dan penghasilan dari pembangkit listrik disisihkan untuk penduduk desa untuk mengatasi masalah kemiskinan," kata dia.
Menurut Badan Energi Nasional China, SEPAP telah dinikmati oleh lebih dari 400 juta orang. Pada 2020, program ini berhasil meningkatkan kapasitas pembangkit tenaga surya nasional hingga 26 gigawatt, melampui target awal 10 gigawatt.
April tahun lalu, kapasitas tenaga surya China mencapai 430 gigawatt, tiga kali lipat dari Amerika yang menempati posisi kedua terbesar dengan 142 gigawatt.
China juga telah berinvestasi besar-besaran pada energi terbarukan lainnya. Pada 2012, China menggelontorkan dana hingga US$67,7 miliar untuk investasi energi bersih. Satu dekade kemudian, angkanya naik menjadi US$546 miliar.
Hari ini, China adalah produsen energi terbarukan terbesar dunia, dan itu bukan hanya energi surya.
China memiliki lebih dari 4.300 fasilitas turbin angin yang tengah beroperasi atau sedang dikembangkan. Tahun lalu, turbin angin ini menciptakan 46 persen listrik lebih banyak dibanding Eropa yang merupakan pasar pembangkit listrik tenaga angin terbesar kedua dunia.
Terlepas dari berbagai pencapaian tersebut, ada kontradiksi di dalamnya. China saat ini merupakan penghasil polutan terbesar dunia dan pada 2022 pemerintahnya telah mengeluarkan izin pembangunan lebih banyak lagi PLTU batu bara, terbanyak sejak 2015.
Mengapa hal ini terjadi? Program Insight mencoba mengupas kisah sebenarnya dari revolusi energi hijau China dan apakah dunia harus khawatir.
PENDORONG ENERGI HIJAU DI CHINA
Dorongan menciptakan energi hijau oleh China berakar dari polusi udara.
"Jika ada di sini pada 2013, mungkin Anda harus memakai masker, bukan karena COVID tapi karena itu (polusi udara)," kata Ma Jun, mantan kepala ekonom di bank sentral China, Bank Rakyat China.
Ma, yang sekarang menjabat presiden lembaga nirlaba Institute of Finance and Sustainability, telah membantu merancang pedoman finansial energi hijau pertama China.
Menurut dia, menghadapi polusi — bukan hanya polusi udara, tapi juga polusi air dan tanah — membutuhkan "uang yang banyak": Sekitar 4 triliun per tahun.

Tapi para ahli mengatakan bahwa motivasi China yang terus tumbuh dalam sektor ini bukan semata soal lingkungan, tapi juga ekonomi. Lebih dari 80 persen sel surya yang ada di dunia saat ini adalah buatan China. Padahal pada awalnya, bahkan tidak ada pasar domestik untuk menjual produk ini di China.
"Permintaan dari Eropa-lah yang sebagian besar memicu investasi China di seluruh sektor energi terbarukan," kata Wang Dan, kepala ekonom di Hang Seng Bank (China).
Teknologi sel fotovoltaic China mulai berkembang pada 2006, ketika kebutuhan pasar untuk produk tersebut muncul di Eropa dan didukung oleh berbagai kebijakan negara-negara di benua tersebut.
Saat itu, China membeli bahan mentah dari luar negeri dan menggunakan teknologi asing untuk memproses fotovoltaik sebelum mengekspornya.
"Karena biaya yang lebih rendah di China, Â ... (Perusahaan fotovoltaik China) dapat dengan cepat menangguk untung dan mengumpulkan dana untuk ekspansi pabrik dengan kilat," kata Armin Aberle, CEO lembaga Solar Energy Research Institute of Singapore.
Barangkali capaian yang paling terkenal dari investasi China pada energi hijau adalah stasiun pembangkit listrik tenaga surya garam cair Dunhuang, atau yang dikenal dengan "pembangkit listrik cermin super", di pintu masuk desa Wu.
Dibangun dengan biaya 3 miliar yuan, stasiun ini melingkupi luas 7,8 kilometer persegi di Gurun Gobi - hampir 1.100 kali lapangan sepak bola dan yang terbesar di China.
Stasiun 100 megawatt ini dapat menghasilkan lebih dari 2,3 juta kilowatt per hari, cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik kota Dunhuang seharian, kata manajer umumnya, Liu Fuguo.
Stasiun itu menggunakan 12.000 cermin fotovoltaik untuk memusatkan dan memantulkan cahaya matahari ke menara penerima. Garam cair dipompakan ke menara tersebut dan dipanaskan.

Teknologi fotovoltaik konvensional bekerja dengan mengonversikan panas matahari menjadi listrik, yang artinya pembangkitan listrik akan berhenti ketika matahari terbenam. Namun Liu mengatakan, teknologi yang digunakan di stasiunnya berbeda.
"Di siang hari, pembangkit listrik mengumpulkan dan menyimpan panas," katanya. "Setelah matahari terbenam, panas yang tersimpan akan terus menghasilkan listrik."
PESONA BATU BARA
China boleh jadi telah membangun proyek-proyek energi bersih seperti stasiun pembangkit tenaga surya Dunhuang. Tapi China juga bertanggung jawab untuk 30 persen emisi global, sebagian besar karena ketergantungan mereka terhadap batu bara.
China juga tengah membangun lebih banyak lagi stasiun PLTU batu bara dibanding negara lain. Tahun lalu seperti diberitakan Reuters, produksi batu bara China mencapai rekor yaitu 4,5 miliar metrik ton.
Terlepas dari investasi energi bersihnya, para ahli mencatat bahwa batu bara masih menjadi pilihan energi dengan biaya terendah di Cina saat ini.
"China memiliki cadangan batu bara yang sangat besar," kata Aberle. "Mereka tidak ingin mengimpor energi dari negara lain; mereka ingin menggunakan batu bara lokal sebanyak mungkin. ... Itulah mengapa batu bara sangat menarik."

Pembangkit energi bersih, kata Wang, juga "sebagian besar bersifat intermiten". Artinya, tidak ada alternatif yang lebih baik daripada tenaga batu bara untuk pemanasan.
"(Anda) butuh matahari yang terus bersinar atau angin yang terus bertiup untuk menghasilkan pasokan listrik yang cukup," kata dia. Jika Anda membangun satu lagi pembangkit listrik tenaga surya atau angin, Anda harus membangun pembangkit listrik batu bara yang terpisah untuk menstabilkan pasokan listrik.
"Jadi pembangkit tenaga batu bara di banyak wilayah China adalah sebuah keharusan."
Selain itu di China, masalah pertumbuhan ekonomi "mendominasi segalanya", dan masalah lingkungan hidup "ada di urutan kedua", kata Aberle. "Saya rasa mereka belum siap untuk menjadi teladan global dalam masalah teknologi keberlanjutan."
FAKTOR PENGURANGAN BIAYA
Meskipun demikian, China optimistis dalam hal pengurangan emisi dan merasa dapat mengurangi ketergantungan mereka pada batu bara.
Ma menggambarkan bauran energi China saat ini sebagai "situasi transisi". Menurut dia, tekad China "untuk bergerak menuju nol bersih adalah yang terkuat di dunia".
Seberapa cepat China dapat melepaskan diri dari batu bara mungkin tergantung pada pengurangan biaya energi bersih.
Biaya listrik fotovoltaik per kilowatt-jam di China saat ini "jauh lebih rendah" daripada biaya listrik batu bara, kata He dari Tsinghua University. "Pada langkah berikutnya, fotovoltaik China akan terus meningkat dan mengurangi ketergantungan pada batu bara."
Selama satu dekade terakhir, Longi Green Energy Technology — salah satu produsen tenaga surya terbesar di dunia — telah menginvestasikan sekitar 20 miliar yuan untuk penelitian dan pengembangan, ujar Huo Yan, manajer umum untuk branding dan kepala pemasaran global perusahaan tersebut.

Hasilnya, harga wafer silikon surya Longi telah turun dari sekitar 100 yuan pada 2012 menjadi 3 sampai 5 yuan sekarang, kata dia.
"Biaya energi fotovoltaik telah menurun secara signifikan dalam satu dekade terakhir berkat inovasi Longi. Saat ini, energi fotovoltaik adalah sumber energi termurah di banyak negara."
Longi juga mencetak rekor tahun lalu untuk efisiensi sel silikon, yaitu pengukuran seberapa banyak energi panas matahari yang dapat diubah menjadi listrik pakai. Semakin tinggi efisiensi sel, semakin banyak daya yang dihasilkannya, sehingga menurunkan biaya satuan listrik.
'TAK ADA PEMENANG DALAM PERANG TEKNOLOGI HIJAU'
Walau China telah berkomitmen jangka panjang dan pertaruhan mereka untuk energi bersih tampaknya telah membuahkan hasil, namun dominasi Tiongkok membuat beberapa negara waswas.
Wang mengambil contoh program-program anti-dumping dan anti-subsidi yang diterapkan oleh AS dan Eropa sejak 2012, sehingga memicu pengetatan terhadap ekspor dari China.
Tahun ini, AS akan memperluas bea masuk untuk produk fotovoltaik yang datang dari China.
He dari Tsinghua University mengatakan tarif impor telah ditambahkan "berkali-kali". "AS ingin melindungi perusahaan-perusahaan fotovoltaic mereka sendiri, karena ongkos produksi fotovoltaic di AS lebih tinggi dibanding China."
Sementara itu Uni Eropa berencana melarang produk-produk hasil kerja paksa, menyasar produk panel surya yang dibuat di provinsi Xinjiang, China.
Berbagai kebijakan tersebut membuat China melancarkan serangan balik awal tahun lalu, dengan mengancam menerapkan larangan ekspor teknologi solar. Berbagai laporan menyebutkan, China saat ini mengendalikan setidaknya 75 persen dari rantai pasokan global untuk industri ini di setiap tahapannya.Â
Menurut lembaga riset energi Ember, pada paruh pertama tahun ini, ekspor panel surya China mencapai kapasitas 114 gigawatt, hampir melampaui jumlah ekspor keseluruhan tahun lalu sebesar 164 gigawatt.
Nilai ekspor panel surya China selama setengah tahun setara dengan kapasitas solar yang dipasang di AS saat ini.
"China merasa harus unjuk kekuatan — 'Jika melakukan itu ke kami, kami akan melakukan ini ke Anda,'" kata Aberle.
Tapi saya berharap ujungnya tidak seperti itu. Tidak akan ada pemenang pada perang teknologi hijau."
Ada beberapa momen terobosan yang telah terjadi.Â
Pada Juli tahun lalu, utusan iklim AS John Kerry mengunjungi Beijing untuk memulai kembali perundingan terkait iklim yang sebelumnya diputus China pada 2022 sebagai protes atas kunjungan ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan.
Wang mengatakan, kunjungan Kerry menunjukkan bahwa AS "ingin melanjutkan komunikasi dan kolaborasi dengan China" dalam hal perubahan iklim. "Ini adalah pertanda positif bagi China karena pintu belum tertutup sepenuhnya."
Bulan lalu, Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping juga menyepakati negosiasi tentang dimulainya kembali perjanjian teknologi dan sains kedua negara. Perjanjian berusia satu dekade itu memungkinkan kerja sama antara China dan AS dalam bidang riset dan pengembangan.
DORONGAN POLITIK UNTUK PERUBAHAN
Di luar masalah geopolitik, ada dorongan dari perpolitikan dalam negeri China untuk melancarkan revolusi energi hijau.
Menurut survei iklim tahun 2019-2020 oleh Bank Investasi Eropa, sebanyak 73 persen warga China yang merasa perubahan iklim adalah ancaman utama bagi masyarakat, dibandingkan dengan 47 persen warga Eropa dan 39 persen warga Amerika.
Pemerintah China telah menghabiskan "uang dalam jumlah sangat besar" untuk mendorong perusahaan-perusahaan agar mau mengadopsi teknologi bersih dan mengurangi penggunaan batu bara serta teknologi polutan lainnya, ujar Wang. "Bagi banyak pemerintahan lokal, ini menjadi bagian dari evaluasi mereka."
"Para pemimpin politik sangat menyadari bahwa polusi di kota-kota besar dan beberapa daerah bisa menyebabkan ketidakpuasan, bahkan aksi protes masyarakat," kata Aberle.
"Jadi saya kira mereka menyukai gagasan untuk mendorong revolusi energi bersih sehingga ikut memerangi polusi lokal di China."
Saat ini di China, diterapkan juga regulasi hijau untuk gedung baru dan proyek-proyek pembangunan. Misalnya, wajib bagi gedung-gedung baru untuk memasang sistem energi surya, sementara emisi karbon untuk gedung baru pemerintahan harus lebih rendah 40 persen dibanding standar 2016. Â

Di tengah kekhawatiran dan kontradiksi terkait revolusi hijau China, terdapat konsensus masyarakat soal perubahan iklim di negara tersebut.
"Saya yakin (perubahan iklim) adalah sesuatu yang harus diperhatikan oleh setiap manusia," kata Zhang Jie, mahasiswwa Tsinghua University.
Mahasiswa lainnya, Zhuo Dao, menambahkan: "Semua pelajar (di China) yang lulus pendidikan dasar dan menengah akan memiliki pemahaman soal perubahan iklim.
"Kita harus memiliki tanggung jawab bersama dan tidak membeda-bedakan orang dalam hal perlindungan terhadap lingkungan."
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.